Di Indonesia, diperkirakan sebanyak 8,8 juta anak menderita stunting karena kurang gizi. Berbagai intervensi diupayakan untuk mencegah stunting terutama intervensi terhadap ibu hamil dengan pemenuhan gizi untuk ibu dan janin.
Selain intervensi dari segi asupan gizi, Andi Prasetyo dari Konsorsium Indonesia Bergizi sekaligus Head of Japfa Foundation berkata, kewirausahaan sosial juga bisa dijadikan upaya dalam memerangi stunting. Menurutnya, kemampuan ekonomi rendah membuat asupan gizi kurang memadai.
Dari temuan Gates Foundation dan Bank Dunia, katanya, untuk mengurangi stunting diperlukan sekitar US$8,5 per anak per intervensi atau sekitar Rp110.435. Meski masih jauh dari harapan, ia memberikan gambaran hal ini dapat terwujud jika di satu desa terdapat satu kewirausahaan sosial dengan penghasilan mentah Rp150,3 juta per bulan.
"Kita musti membedakan antara wirausaha dengan kewirausahaan sosial. Kewirausahaan sosial ini memberikan kontribusi sosial. Karena sifatnya sosial, maka oenerima manfaatnya bisa Posyandu, lingkungan penderita kurang gizi, mereka dapat terbantu secara langsung," jelasnya saat Konferensi Indonesia Bergizi di Hotel Menara Peninsula, Jakarta Barat, Jumat (8/12).
Kewirausahaan sosial, kata Andi, bisa bergerak dengan 'doing good and make money'. Artinya, 51 persen laba akan dimanfaatkan untuk sosial dan 49 persen untuk dana operasional.
Andi memberikan contoh rumah-rumah di lingkungan kumuh. Tiap rumah tangga tentu memerlukan gas untuk memasak dan memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga. Namun, kebutuhan gizi belum tentu tercukupi karena penghasilan rumah tangga mungkin sudah terbagi untuk kebutuhan lain termasuk membeli gas untuk memasak. Tawaran win win solution dapat berupa dapur umum. Dapur umum dapat menyediakan tabung gas lebih besar dan efisien jika dibanding per rumah tangga harus memasak sendiri-sendiri.
"Supply chain untuk sayur atau bahan pangan lain dapat dipenuhi ibu-ibu bekerja sama dengan tukang sayur. Lama-kelamaan, kelompok ibu-ibu ini akan membentuk suatu microfounding dan perlu dijaga keberlangsungannya," jelas Andi.
Di sisi lain, apabila melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 27,77 juta atau 10,64 persen. Bila dibanding dengan angka kejadian stunting sebanyak 27,5 persen, tentu kemiskinan tak bisa sepenuhnya dijadikan 'kambing hitam' masalah stunting.
Melihat fakta ini, Ahmad Syafiq, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menuturkan, kemiskinan bisa dipandang dari banyak sisi. Miskin tak selalu mengenai penghasilan tapi bisa juga food poverty atau miskin makanan, kepemilikan aset atau miskin secara pengeluaran rumah tangga.
"Misal food poverty, dia ada uang tapi sayang atau tidak mengeluarkan uang untuk pemenuhan asupan makanan," kata Ahmad pada CNNIndonesia.com.
Namun, Ahmad tidak menampik jika kemiskinan juga menjadi faktor yang begitu berpengaruh dalam masalah stunting.
"Mereka yang miskin cenderung atau berisiko stunting, tapi mereka yang stunting, belum tentu miskin," tutupnya.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia ada di urutan kelima jumlah anak dengan kondisi stunting. Di seluruh dunia, diperkirakan ada 178 juta anak di bawah usia lima tahun pertumbuhannya terhambat karena stunting.
Stunting adalah kondisi gizi kronis karena asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Kondisi kurang asupan gizi terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun. Akibatnya, pertumbuhan terhambat dan perkembangan otak tidak maksimal.</span>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kewirausahaan Sosial, Tawaran Solusi Hadapi Darurat Stunting"
Post a Comment