Sepotong lagu nasional berjudul 'Dari Sabang Sampai Merauke' ciptaan R. Soehardjo itu tak asing di telinga penduduk Indonesia. Saking seringnya dinyanyikan, banyak yang berpikir Sabang itu berada di Merauke. Hal lucu ini mengawali perjalanan saya menuju kota Sabang, yang terletak di Pulau Weh, utara Banda Aceh.
Perjalanan ini sekaligus mewujudkan gambaran saya akan Sabang di lagu nasional yang saya pelajari di sekolah dasar. Pastinya, Sabang bukan di Merauke.Mencari Sabang di peta Indonesia bukan hal yang sulit. Pulau Weh terletak ujung pulau Sumatera dan ditemani empat pulau lain seperti Pulau Klah, Pulau Rondo, Pulau Seulako dan Pulau Rubiah. Pulau Weh jadi pulau terbesar dari gugusan pulau-pulau ini.
Tidak sulit menuju Sabang. Perjalanan udara dapat ditempuh karena di sini terdapat Bandara Maimun Saleh. Namun perjalanan kali ini akan sedikit berbeda.
Udara, air, sampai darat
Perjalanan saya pada akhir pekan kemarin dimulai dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Penerbangan pagi jadi pilihan karena diharapkan cuaca pagi tak akan sekejam saat sore atau malam. Banyak maskapai sudah menyediakan penerbangan dari Jakarta ke Banda Aceh. Perjalanan udara ditempuh selama kurang lebih 2 jam.
Pukul 07.50, saya mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar. Perjalanan udara berganti menjadi perjalanan darat menuju Pelabuhan Ulee Lheue. Bermodal Rp 100ribu, saya menyewa mobil menuju pelabuhan.
Jalanan yang saya lewati cenderung lengang. Saya melewati sebuah bangunan besar nan unik berwarna keabuan. Rupanya itu Museum Tsunami Aceh. Tak memungkinkan untuk mampir sebentar, karena saya harus segera naik kapal pukul 10.00.
|
Pukul 09.30, saya tiba di Pelabuhan Ulee Lheue. Pelabuhannya tak begitu besar tapi calon penumpangnya banyak. Ada dua pilihan kapal yang bisa ditumpangi, yakni kapal cepat dan feri. Penyeberangan dengan feri memakan waktu 2 jam dengan biaya tiket Rp27ribu per orang. Kapal cepat mematok biaya Rp80ribu per orang dan bisa sampai Pulau Weh dalam waktu 45 menit.
Meski lebih mahal, saya memilih naik kapal cepat agar cepat sampai, walau harus siap digoyang ombak dari awal sampai akhir perjalanan. Tepat pukul 10.45 saya sampai di Pelabuhan Balohan.
Mengintip kapal
Perjalanan panjang dari Jakarta membuat memutuskan mampir mengisi perut di Warung De Sagoe. Terletak di pojok perempatan Jalan Garuda, warung ini menyajikan ayam bakar plus kuah beulangong khas Aceh. Rasanya begitu gurih dipadu dengan nasi panas dan ayam goreng renyah.
Usai makan siangm saya melanjutkna perjalanan ke Pelabuhan Container Terminal 3 (CT-3), tak jauh dari De Sagoe. Pelabuhan ini diperuntukkan untuk membuka 'pintu' keluar-masuk barang ke Pulau Weh. Saat saya kunjungi, pelabuhan ini juga dimanfaatkan untuk perhelatan Sail Sabang 2017, gelaran bahari bertaraf internasional yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
|
Sail Sabang 2017 membuat banyak turis memadati area pelabuhan untuk melihat KRI Dewaruci dan KRI Bima Suci yang sedang merapat. Di tengah rintik hujan menjelas sore, pengunjung masih terlihat mengantre masuk kapal untuk melihat isinya.
Kopi lengkapi perjalanan
Aceh memang dikenal sebagai daerah penghasil kopi nikmat. Namun, apa perlu menyeberang ke Aceh demi minum kopi? Saya memutuskan untuk berburu kopi di Sabang.
Karena sudah mengunjungi De Sagoe, akhirnya pilihan jatuh pada Kedai Kopi Pantai Jaya.
|
Saya sudah membayangkan minum kopi dengan pemandangan pantai Sabang, dan kedai kopi ini menjawab harapan saya.
Sofian Zakaria, pemilik kedai dengan lincah menyiapkan kopi pesanan saya. Ada tiga pilihan jenis kopi yakni ditawarkan dalam menu, kopi hitam, kopi susu, dan kopi sanger. Per gelasnya dihargai Rp3.000. Kopi sanger yang saya pilih mirip dengan kopi susu, hanya saja campurannya berbeda.
"Kalau sanger itu susu dan gula, kalau kopi susu ya pakai susu saja," kata Sofian sembari menyaring kopi untuk saya.
Menyambangi Nol kilometer
Puas ngopi, saatnya mengunjungi salah satu destinasi wisata populer Pulau Weh. Pulau ini memang dikenal orang sebagai pulau paling barat wilayah Indonesia, sehingga di pulau ini dibangun sebuah tugu Nol Kilometer.
Bangunan belum sepenuhnya jadi, tapi pengunjung tetap bisa naik dan menikmati pemandangan dan melihat Pulau Rondo. Sebenarnya, Nol kilometer Indonesia dimulai dari Pulau Rondo, tapi tugu dibuat di Pulau Weh sebagai simbol.
|
Sekitar tugu terdapat hutan kecil dan banyak monyet. Pengunjung sebaiknya jangan mendekati monyet-monyet ini. Tak banyak pilihan kuliner di sini. Namun, ada satu yang menarik perhatian dan tampak segar saat siang, yakni rujak.
Sabang itu seperti apa?
Pulau kecil ini ternyata menyimpan potensi luar biasa. Pemandangan dari kaca mobil sudah cukup memberikan gambaran betapa indahnya pantai-pantai di sana.
Pulau ini lengkap. Ada wilayah pantai, ada pula wilayah berbukit dengan hijaunya pepohonan. Suguhan pemandangan ini saya nikmati sembari disiram rintik hujan.
|
“Sabang itu seperti apa?”, pertanyaan itu muncul dari salah seorang kawan. Jika boleh mendeskripsikan, Sabang itu tak begitu ramai, juga tak begitu sepi. Apalagi jika orang mengunjungi kotanya. Hiruk pikuk kota mulai terasa.
Dari kedai kopi, hujan turun semakin deras. Akhirnya perjalanan harus diakhiri.
Di Sabang, saya menginap di sebuah homestay. Tak banyak hotel di Sabang. Kebanyakan berupa losmen atau vila.
Namun itu tak mengurangi kenyamanan selama berada di Sabang. Pasalnya, penduduk Sabang berkarakter ramah, membuat turis pasti betah berwisata di sini, asal tetap menjaga adat ketimuran.
(ard)
Baca Kelanjutan Udara, Air, dan Darat Menuju Sabang : http://ift.tt/2ji1BowBagikan Berita Ini
0 Response to "Udara, Air, dan Darat Menuju Sabang"
Post a Comment