Obat-obatan seperti amoxicillin, cefradoxil, erythromicyn, dan tetrasiklin tentu sudah familiar di telinga masyarakat. Deret obat-obatan itu tak bisa disamakan dengan jenis obat lain, sebab mereka termasuk dalam golongan antibiotik yang bertugas untuk membasmi bakteri yang menyerang tubuh.
Apa yang dikhawatirkan Fleming terjadi di zaman kiwari. Bakteri bukan sekadar mahkluk kecil yang mudah diatasi begitu saja. Semakin ke sini, bakteri kian kuat dan antibiotik yang masuk ke dalam tubuh pun tak mampu membasminya.
Ahli mikrobiologi, dr Anis Kurniawan, menjelaskan bahwa bakteri mampu bertahan dalam beragam kondisi. Namun, pemakaian antibiotik sembarangan, membuat bakteri semakin 'pintar' dan kebal terhadap usaha antibiotik untuk membasminya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa resistensi antibiotik bertanggung jawab atas 700 ribu kematian di seluruh dunia. Para ahli memprediksi, resistensi antibiotik akan mengakibatkan sekitar 10 juta kematian secara global pada 2050 mendatang. Bagaimana dengan Indonesia?
"Untuk jumlah kasus, kami belum ada (datanya). Namun, kalau jumlah bakterinya ada," kata Anis yang juga merupakan Sekretaris Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) pada CNNIndonesia.com saat ditemui di sela diskusi media di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (15/11).
KPRA pernah mengadakan survei sepanjang 2013-2016 di enam rumah sakit di Sumatera, Jawa, dan Bali. Survei menggunakan parameter resistensi terhadap bakteri gram negatif yang memproduksi komponen penyebab resistensi.
Dari enam rumah sakit, hasilnya bervariasi. Namun, rata-rata jenis bakteri gram negatif yang terdapat di rumah sakit lokasi survei sekitar 40-80 persen di antaranya resisten terhadap antibiotik.
Tak sulit untuk mencegah resistensi antibiotik. Menghindari infeksi dengan menjaga kebersihan serta menjaga kondisi badan menjadi salah satu cara paling ampuh. Selain itu, masyarakat juga perlu bijak dalam mengonsumsi antibiotik.
Anis menjelaskan, tak semua penyakit dapat diselesaikan dengan antibiotik. Hanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang mampu diatasi antibiotik.
Sejauh pengamatan Anis, banyak orang menggunakan antibiotik untuk segala macam penyakit. Misalnya saja sakit tenggorokan yang disembuhkan dengan antibiotik. "Padahal, menurut studi, 90 persen penyebab sakit tenggorokan itu virus," katanya. Sementara antibiotik digunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang disebabkan bakteri.
Di tahap awal, resistensi antibiotik tak begitu dirasakan oleh penderitanya. Biasanya, mereka akan datang ke rumah sakit dalam kondisi parah. Infeksi sudah terlampau berat dan bakteri sulit dibasmi.
Oleh karena itu, Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia pada 12-18 November 2018 digalakkan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat akan resistensi antibiotik. Apalagi, menurut WHO, wilayah Asia termasuk wilayah dengan kasus resistensi antibiotik yang tinggi.
Anis mengamati ada beberapa hal yang memicu tingginya kasus resistensi antibiotik. Beberapa faktor itu di antaranya penjualan bebas, penggunaan sembarangan, serta penggunaan antibiotik untuk pakan ternak.
Di luar itu, lanjut Anis, ada pula yang menekan dokter untuk memberinya antibiotik meski hanya menderita flu.
"Misal, ibu-ibu yang datang ke dokter dan enggak terima anaknya cuma dikasih vitamin," kata Anis. Paradigma masyarakat yang menganggap bahwa antibiotik ampuh dan kudu diresepkan untuk segala macam penyakit itulah, yang menurutnya, juga jadi salah satu penyebab. "Nah, paradigma masyarakat juga harus diubah," pungkasnya. (els/asr)
Baca Kelanjutan Jangan Main-main dengan Antibiotik : https://ift.tt/2ONf4i3Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jangan Main-main dengan Antibiotik"
Post a Comment