
Sherpa merupakan warga lokal yang menjadi pemandu pendakian. Mereka biasanya membantu operator pendakian untuk menemani pendaki sampai ke puncak gunung tertinggi di dunia itu.
Sherpa terbilang salah satu manusia yang tahan banting karena telah terbiasa dengan alam Everest. Mereka bisa bertahan dalam oksigen yang tipis atau dingin yang menggigit.Saat ini jumlah sherpa disebut tak sebanding dengan jumlah pendaki di Everest yang kian bertambah setiap tahunnya.
Krisis sherpa membuat banyak sherpa-sherpa karbitan bermunculan, yang akhirnya membahayakan dirinya sendiri dan pendaki yang datang bersamanya.
Salah satu sherpa yang pernah berada dalam kondisi tersebut ialah Dawa Sange Sherpa. Pemuda berusia 20 tahun itu ditemukan pingsan dalam perjalanan menuruni puncak bersama pendaki lainnya pada bulan kemarin.
Walau selamat, namun Sange terpaksa harus kehilangan seluruh jarinya karena terpaan udara dingin yang ekstrem.
"Teman saya berkata bahwa dia sudah meregang nyawa. Tapi saya masih bisa merasakan detak jantungnya yang lemah," kata Ang Tshering Lama, sherpa yang menemukan Sange dan membantunya turun ke pos pendakian terdekat.
Fenomena sherpa karbitan
Sange disebut belum cukup pengalaman menjadi pemandu pendaki hingga ke puncak. Di umurnya yang masih muda, seharunya ia melatih diri dulu untuk menjadi pengantar barang dari satu pos ke pos berikutnya.
Setelah fisik dan mentalnya kuat, baru ia bisa naik sampai ke puncak Everest.
Seven Summit Treks, operator pendakian terbesar di Nepal yang mempekerjakan Sange, mengaku tak memiliki masalah dengan performa sherpa-sherpanya.
Padahal kenyataannya, sembilan sherpa dari operator tersebut ditemukan hampir tak bernyawa di tengah pendakian. Sherpa dan pendaki lainnya "terpaksa" membantu menyelamatkan mereka.
Kepala Sherpa di Seven Summit Treks, Mingma, mengatakan kalau kondisi tubuh sherpa memang tak bisa ditebak, sehingga masalah dalam perjalanan bisa saja terjadi.
Hingga saat ini tak ada persyaratan mutlak untuk bekerja di Everest. Ada operator pendakian yang mewajibkan dua sampai tiga pelatihan dari Nepal Mountaineering Association (NMA), ada juga yang tak mewajibkannya sama sekali.
"Sherpa-sherpa kami tak menjalani pelatihan NMA, karena mereka harus melatih dirinya sendiri di gunung," kata Mingma.
Pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan operator pendakian Asian Trekking. Sang Kepala Sherpa, Dawa Steven Sherpa, mengatakan kalau seluruh sherpanya wajib mengikuti pelatihan NMA.
"Kami tak ingin mempekerjakan sherpa yang tak berpengalaman. Kami tak sembarang mempekerjakan orang dengan titel 'sherpa'," kata Dawa.
14 kali gaji
Seorang sherpa senior yang berpengalaman bisa mengumpulkan bayaran hingga US$10 ribu (sekitar Rp141,4 juta) selama musim pendakian bulan April sampai Mei.
Bayaran tersebut 14 kali lebih banyak dibandingkan gaji tahunan pekerja biasa di Nepal.
Dari bayaran tersebut mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi di Kathmandu, India bahkan sampai Amerika Serikat.
Sayangnya tak banyak sherpa senior yang mewariskan teknik mendaki mereka ke anak-anaknya, dengan alasan tak ingin anak-anaknya melakoni pekerjaan yang sangat berbahaya ini.
Sherpa telah menjadi teman pendaki Everest sejak tahun 1920-an. Yang senior sudah banyak yang pensiun atau pindah ke gunung lain dengan bayaran yang lebih tinggi.
Mingma mengatakan kalau kurangnya sherpa dikarenakan operator pendakian tak lagi melatih sherpa-sherpa muda dan hanya mempekerjakan sherpa senior.
Phurba Tashi Sherpa, Kepala Sherpa dari operator pendakian Himalayan Experience, telah menaiki puncak Everest sebanyak 21 kali.
Ia mengatakan kalau masalah yang dialami sherpa muda ialah mereka terlalu nekat namun minim teknik.
"Sherpa yang senior mendaki dengan perlahan dan tetap berhati-hati," kata Phurba.
(ard)
Baca Kelanjutan Gaji Pemandu Gunung Everest Bisa Mencapai Rp141 Jutaan : https://ift.tt/2k5A4U7Bagikan Berita Ini
0 Response to "Gaji Pemandu Gunung Everest Bisa Mencapai Rp141 Jutaan"
Post a Comment