Hari berkata, resistensi antibiotik tak hanya berasal dari konsumsi antibiotik yang tidak tepat, tetapi juga berasal dari hewan ternak. Usaha peternakan kerap menggunakan antibiotik sebagai growth promoter atau demi peningkatan produktivitas.
Ia memberikan contoh ayam normalnya perlu waktu sekitar dua bulan hingga siap potong. Sedangkan, ayam yang diberi antibiotik jadi siap potong hanya dalam kurun waktu sekitar sebulan. Tak hanya ayam, hewan ternak lain seperti sapi dan babi juga jadi sasaran peternak.
"Korbannya siapa? Kita manusia. Biaya (pengobatan) jika terkena infeksi bakteri resisten itu tinggi karena perlu tenaga medis dari berbagai bidang. Saya pernah menghadapi pasien itu paling lama 162 hari perawatan," papar Hari dalam simposium nasional bertajuk 'More Protection, Less Antimicrobial' di Balai Kartini, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (27/2).
Selain itu, kemunculan resistensi antibiotik juga didukung oleh transmisi bakteri. Yang mengejutkan, transmisi ini banyak terjadi di rumah sakit. Dalam sebuah survei yang ia lakukan bersama KPRA, lebih dari 50 persen bakteri di rumah sakit bersifat resisten. Tren ini meningkat saat membandingkan catatan pada 2000 sebanyak 9 persen dan pada 2016 meningkat sebanyak 60 persen.
"Dampaknya, misal ada luka yang cukup mematikan. Luka bisa sembuh, tapi (perlu waktu) lama," katanya.
Ia pun berharap, baik tenaga medis dan masyarakat menggunakan antibiotik dengan tepat. Tepat artinya tak hanya soal kesesuaian kasus dengan antibiotiknya, tapi juga tidak over-use atau penggunaan yang berlebihan.
Pasien perlu kritis
Dalam kesempatan serupa, Purnawan Junadi, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia berkata bahwa penggunaan antibiotik yang kurang tepat bisa berasal dari tenaga medis. Tenaga medis kerap meresepkan antibiotik dan pasien hanya mengikuti petunjuk dokter tanpa bertanya lebih lanjut.
Ia bercerita, saat dirinya menjadi direktur sebuah rumah sakit, mendidik dokter memang sulit. Purnawan mengakui bahwa lebih mudah mendidik pasien daripada mendidik dokter. Ia ingin pasien benar-benar mendapatkan layanan yang sesuai dengan kasus artinya, pasien tak akan mendapat obat serta tidak mendapat perawatan tertentu jika tidak perlu.
"Pasien perlu menggunakan obat dengan rasional. Tanya ke dokter obat ini untuk apa, serta mengapa harus menjalani perawatan ini itu. Tegur dokter kalau memeriksa tapi belum cuci tangan," tuturnya.
Purnawan mengatakan, untuk mengurangi penggunaan obat yang tidak rasional termasuk antibiotik adalah dengan melihat akar permasalahnnya. Ia berpendapat terdapat beberapa persoalan antara lain, kurangnya pengetahuan masyarakat, punya informasi sendiri atau independence information yang belum tentu benar, ketersediaan obat secara bebas, tenaga medis yang memang memberikan obat secara berlebihan, promosi yang tidak benar serta orientasi profit.
"Ada pula orang yang melakukan self medication, jadi beli obat sendiri tanpa konsultasi. Ini juga bikin pasien menggunakan obat secara tidak rasional," tambahnya. (rah)
Baca Kelanjutan Resistensi Antibiotik Juga Bisa Berasal dari Hewan Ternak : http://ift.tt/2BXus8LBagikan Berita Ini
0 Response to "Resistensi Antibiotik Juga Bisa Berasal dari Hewan Ternak"
Post a Comment