Bagi sebagian orang, psikotes tampak menyeramkan seperti halnya tes tertulis. Ada pula yang menyepelekan psikotes karena merasa psikotes tak banyak menentukan diterima tidaknya seseorang menjadi staf atau karyawan di suatu perusahaan.
Akan tetapi, Vicka Yunita Tjhin dari Human Capital PT Televisi Transformasi Indonesia menegaskan, psikotes penting dalam proses perekrutan karyawan.
"Melalui psikotes, dapat terbagi menjadi tiga aspek, ada IQ, sikap kerja dan kepribadian," katanya saat ditemui di Gedung Trans, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (2/11).
Lebih lanjut lagi Vicka menjelaskan, aspek IQ dapat melihat potensi calon karyawan secara kognitif. Perusahaan dapat memotret apakah calon karyawan sanggup memenuhi tuntutan kerja melihat IQ yang dimilikinya. Vicka memberikan contoh untuk lowongan analis tentu diperlukan orang yang memiliki IQ di atas rata-rata. Mereka yang memiliki IQ di bawah rata-rata tentu akan kesulitan atau bahkan lambat dalam bekerja.
Aspek sikap kerja digunakan untuk memprediksi apakah calon karyawan cenderung bekerja secara tim atau individualis. Suatu posisi, kata Vicka, memerlukan orang dengan kebiasaan atau kultur kerja tertentu, jadi misalnya posisi manajer diperlukan orang yang dapat bekerja secara tim, maka mereka yang cenderung bekerja secara individual tentu kurang cocok di posisi tersebut.
Aspek terakhir adalah kepribadian. Melalui aspek ini, perusahaan akan melihat karakter kerja dibandingkan dengan budaya perusahaan. Vicka berkata, misalnya di bank umumnya punya budaya kerja disiplin dan detail sehingga bank juga ingin merekrut karyawan yang sesuai dengan budaya mereka.
"Perusahaan bisa memprediksi karyawan bisa cocok atau bertahan enggak di perusahaan," ucapnya.
Dalam suatu perusahaan, biasanya menerapkan tiga jenis filter proses perekrutan yakni, tes tertulis, psikotes dan tes wawancara. Vicka berkata masing-masing proses punya proporsi yang sama untuk menentukan lolos tidaknya calon karyawan.
Tes tertulis, kata Vicka, digunakan untuk melihat pengetahuan umum calon karyawan. Sedangkan saat wawancara, perusahaan akan mengkonfirmasi hasil psikotes. Tes wawancara juga melihat cara komunikasi calon karyawan dan bahasa tubuh atau nonverbal mereka.
Sementara itu, untuk alat tesnya, perusahaan dapat membeli di lembaga pengukuran psikologi. Cara lainnya, perusahaan membuat alat tes sendiri dan didaftarkan lisensinya pada lembaga tersebut. Menurut Vicka, alat tes buatan sendiri memang lebih dapat memfasilitasi perusahaan karena dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
"Misalnya, dicari karyawan yang bisa bahasa Indonesia. Kalau membeli alat tes maka yang lolos hanya mereka yang bisa bahasa Indonesia secara umum, padahal mungkin perusahaan mencari mereka yang bisa bahasa Indonesia dengan kriteria tertentu, apa bahasa Indonesia yang bisa menyentuh kalangan milenial," tambahnya.
Persiapan fisik
Banyak yang menganggap psikotes merupakan tes yang sulit sehingga perlu waktu belajar khusus untuk mempersiapkannya. Menurut Vicka, psikotes adalah tes kemampuan atau potensi diri maka tidak perlu belajar.
"Tidak ada yang perlu disiapkan. Istirahat yang cukup saja. Psikotes itu bukan tes dengan soal yang sulit," uajrnya.
Persiapan kondisi fisik yang baik mutlak diperlukan. Pasalnya, psikotes memerlukan konsentrasi tinggi. Tubuh yang lelah hanya akan mengacaukan konsentrasi dan hasil tes tak maksimal. Apalagi peserta psikotes akan ditekan oleh batas waktu pengerjaan.
"Badan capek bikin kurang konsen, padahal perlunya kita mngerjakan dengan cepat dan tepat," katanya.
Kemunculan kumpulan soal latihan psikotes pun hanya membantu peserta untuk mengenal jenis-jenis soal psikotes. (rah)
Baca Kelanjutan Psikotes, Langkah Perusahaan Prediksi Performa Karyawan : http://ift.tt/2zqJAebBagikan Berita Ini
0 Response to "Psikotes, Langkah Perusahaan Prediksi Performa Karyawan"
Post a Comment