Itu juga yang pernah dialami Satrio Wicaksono. Usai menamatkan sekolah menengah atas di Insan Cendikia, Banten pada 2006 ia berburu beasiswa dan mendapatkan beasiswa Fullbright untuk jenjang S1 ke Wesleyan University, Amerika Serikat. Setamat dari sana, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang master, dan kini tercatat sebagai kandidat PhD di Department of Earth, Environmental, and Planetary Sciences, di Brown University.
Ditemui di sela-sela diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, Satrio berbagi cerita dari awal mengejar beasiswa dan berbagai persiapan yang mesti dilaluinya.
"Setelah lulus SMA, saya ingin kuliah di luar negeri, tapi belum tahu di mana dan jurusan apa. Kemudian saya membaca buku tentang universitas bernama Wesleyan," ujarnya mengawali cerita.
Satrio kemudian juga menemukan bahwa kampus tersebut menawarkan program beasiswa Fullbright Scholarship selama empat tahun, di mana biaya kuliah dan sewa tempat tinggal dibiayai oleh Wesleyan. "Karena hal itu saya tertarik untuk mendaftar," ujarnya saat ditemui di Gedung Sarana Jaya, Jakarta, Selasa (21/11).
Ia kemudian mendaftarkan diri serta mempersiapkan untuk mengikuti tes Scholastic Aptitude Test (SAT). Di Amerika, kata dia, ada ujian mandiri bernama SAT. Isinya ada ujian matematika dan bahasa Inggris.
Sembari mempersiapkan diri untuk tes SAT secara mandiri, Satrio juga belajar untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Ia mesti menyiapkan diri mengikuti tes TOEFL, terlebih lagi ia berasal dari sekolah dengan bahasa Indonesia sebagai pengantar.
"Untuk pendaftaran, bisanya ikut menyertakan informasi tentang nilai rapor, surat rekomendasi dari guru, kemudian menulis esai yang stand out dari pendaftar lainynya," ujar dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa esai yang ditulis harus menggambarkan diri sehingga tampak berbeda dari pendaftar lainnya. Tidak lupa ia juga menambahkan agar esai yang ditulis sesuai dengan prosona universitas yang diinginkan.
"Karena universitas banyak jenisnya, maka beberapa universitas memiliki poin tertentu yang ingin mereka ambil dari karakter siswa, dan tentu saja nilai dari segi akademik," papar Satrio.
Sedangkan untuk surat rekomendasi Satrio menyarankan agar surat tersebut ditulis oleh guru yang benar mengenal karakter siswa.
"Saya meminta surat rekomendasi dari guru BP dan guru bahasa Inggris sekolah saya. Kadang admission officer bisa melihat recomendation letter yang generic (umum) minta surat rekomendasi kepada guru yang tahu diri kita dan bisa menulis surat yang bagus untuk kita," ujarnya.
Ketika mencicipi pendidikan di Amerika Serikat, Satrio menemukan perbedaan sistem dengan universitas di Indonesia.
"Di Amerika memberi waktu kepada mahasiswa untuk memilih jurusan. Jadi mahasiswa punya waktu untuk mengeksplorasi kelas-kelas dan saya bebas mengambil kelas yang saya suka," ujarnya.
Selain itu ia juga menemukan perbedaan pada kosep liberal arts yang ditanamkan di Universitas di Amerika. Ia menjelaskan bahwa liberal arts diambil dari filosofi pendidikan Yunani kuno. Dengan konsep tersebut, kata dia, mahasiswa dibentuk menjadi sosok yang menyeluruh, di mana ia tidak hanya menguasai satu bidang saja.
"Ada penelitian yang menyebutkan bahwa sebagian besar orang ketika lulus tidak akan bekerja di bidang ia pelajari. Jadi untuk mempersiapkan hal tersebut harus bisa adaptif dan inovatif. Liberal arts education menekankan pada unsur-unsur tersebut," jelasnya.
Lebih jauh, ia menambahkan, hal lain yang tak kalah penting saat menjalani pendidikan tinggi di sana, adalah kemampuan berpikir kritis. Ia dituntut untuk mampu berpikir kritis dalam mengolah data dan menyampaikannya dengan penjelasan logis dan runut. (tab)
Baca Kelanjutan Cerita Satrio Berburu Beasiswa Kuliah Hingga ke AS : http://ift.tt/2iFZkzTBagikan Berita Ini
0 Response to "Cerita Satrio Berburu Beasiswa Kuliah Hingga ke AS"
Post a Comment