Seperti biasanya, para desainer terpilih sebagai ksatria mode tampil dalam peragaan khusus Dewi Fashion Knights (DFK). Tahun ini, ada lima desainer busana Indonesia yang mendapat tempat dan tampil mengusung tema "Modernisme".
Kelima desainer itu yakni Toton, Peggy Hartanto, Major Minor, Rani Hatta dan Hian Tjen. Kelimanya telah melalui kurasi oleh beberapa fashion panel termasuk aktris Dian Sastrowardoyo dan Ruben William, serta Redaktur Pelaksana Mode Majalah Dewi.
"Saya rasa modernisme itu bagaimana kita menyikapi situasi juga bagaimana menawarkan solusi," ujar Toton dalam konferensi pers di area JFW 2018, Jumat (27/10).
Toton
Toton seakan menawarkan solusi dalam koleksinya yang bertajuk Bunga Papan. Dunia modern tak hanya memberikan tempat yang indah dan berbeda tapi juga menyisakan limbah.
Dalam 10 look yang ia pamerkan, Toton mencoba mengatasi limbah dengan penggunaan bahan-bahan sisa di studionya. Sisa-sisa inilah yang ia coba bangun kembali dipadu dengan koleksi denim bekas miliknya. Campur aduk antara tulle, denim, wol, rafia, akrilik tapi apik dan menarik ditambah detail yang berkilau.
Rancangan Toton, di Dewi Fashion Knights, Jakarta Fashion Week. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Rani Hatta
Jika Toton beraksi menghadapi dampak modernisme, tampaknya desainer Rani Hatta punya pandangan yang lebih visioner. Manusia kini lebih mencari sesuatu yang praktis. Genderless fashion, fashion tanpa embel-embel gender, tak ada lagi busana pria atau wanita. Busana dapat dikenakan siapapun tanpa merasa ia akan jadi feminin atau maskulin.
Rani yang masih berpegang pada nilai kesopanan mencoba menawarkan busana dengan potongan simpel, mulai dari jumper, kemeja, tunik, long coat juga celana panjang. Warna monokrom dengan sentuhan metalik tak lantas membuat perempuan yang memakainya jadi sangat maskulin. Semua dapat lebur. Keunikannya, meski terkesan bermain aman dengan warna blok dan monokrom ia menyematkan detail tali di sepanjang lengan busana.
Rancangan Rani Hatta di Dewi Fashion Knights, Jakarta Fashion Week. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Peggy Hartanto
Sementara itu, perubahan menurut desainer Peggy Hartanto bisa jadi perubahan yang begitu drastis akibat suatu bencana. Ia terinspirasi dari ledakan nuklir di Fukushima, Jepang pada Maret 2011. Ledakan itu menimbulkan kontaminasi sisa zat radioaktif dan mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan.
Koleksi bertajuk "Mutant II" adalah gambaran abnormalitas kupu-kupu yang terpapar dampak ledakan. Antena yang tak sempurna, sayap tidak tumbuh proporsional dituangkan Peggy pada gaun, coat, atasan dengan detail unfinish stroke, penempatan secara distorsi, juga raw finishing.
Rancangan Peggy Hartanto di Dewi Fashion Knights, Jakarta Fashion Week. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Major Minor
Modernisme juga berhubungan dengan tokoh. Saat tahu tema DFK adalah modernisme, label Major Minor besutan Ari Seputra dan Inneke Margarethe langsung tertuju pada dua maestro lukis era modernisme, Pablo Picasso dan Henri Matisse. Love and hate relationship antara dua pelukis ini menginspirasi Major Minor dalam melahirkan koleksi "Maha".
"Hubungan mereka berdua sangat kontroversional. Mereka berteman baik sebagai kolega, tapi tak ragu saling memberikan kritik pedas layaknya rival," ujar Ari.
Dua 'jiwa' pelukis yang beda ini dituangkan Major Minor dalam warna hitam dan putih. Putih digambarkan sebagai kanvas lukisan. Goresan warna hitam digambarkan sebagai goresan ala Picasso maupun Matessi. Busana potongan simpel seperti celana, atasan, maupun outer panjang tampil tanpa banyak detail, tapi lebih ke permainan goresan warna hitam dan biru.
Rancangan Major Minor di Dewi Fashion Knights, Jakarta Fashion Week. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Hian Tjen
Tampil sebagai desainer terakhir DFK, desainer Hian Tjen layaknya memukul gong tanda gelaran JFW 2018 telah berakhir. Tampil beda di antara empat desainer lain, racikannya terasa begitu unik. Modernisme dalam benak Hian adalah era 1960-an, saat terjadi geliat kebebasan dan kreatifitas.
"Era 60-an itu semua desainer lebih berinovasi daripada dulu di 20-an ke 40-an. Cutting yang press jadi loose, lalu lebih mini,"kata Hian.
Ia pun menerjemahkan semangat 1960-an dalam koleksi bertajuk "Symmetrophilia". Ia berangkat dari pengalaman yang ditemui di sekitarnya yakni Obsessive Compulsive Disorder (OCD) atau kecenderungan individu untuk menginginkan sesagala sesuatu itu simetris.
Rancangan Hian Tjen, di Dewi Fashion Knights, Jakarta Fashion Week. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Modernisme' 5 Desainer Dewi Fashion Knights Tutup JFW 2018"
Post a Comment