Tak pernah terbesit dalam pikiran bahwa saya bisa tinggal selama itu di negeri nan 'unik' ini.
Pertama kali menginjakkan kaki di Korea Utara, sekitar tahun 1999, saya ditempatkan menjadi salah satu staf lokal Kedutaan Besar RI di Pyongyang oleh Kementerian Luar Negeri.
Kini negara itu dipimpin oleh Pemimpin Tertinggi Kim Jong-un, menggantikan ayahnya Kim Jong-il yang tutup usia pada 2011 lalu.
Rasa senang membuncah ketika mengetahui bahwa saya ditugaskan menjadi salah satu staf lokal di KBRI Pyongyang. Saat itu internet belum ada sehingga akses informasi juga belum memadai, jadi ekspektasi saya semua 'luar negeri' itu sama.
Kota terbesar di Korea Utara ini sangat sepi jika dibandingkan ibu kota kebanyakan negara, khususnya Jakarta. (Handout)
|
Namun semua gambaran itu berbeda jauh ketika saya sampai di Pyongyang. Kota terbesar di Korea Utara ini sangat sepi jika dibandingkan ibu kota kebanyakan negara, khususnya Jakarta.
Kendaraan pribadi jarang melintas meski jalan raya beraspal dan tertata. Maklum, semua kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan itu milik negara, sehingga jumlahnya terbatas.
Tak ada penduduk lokal yang punya mobil sendiri. Semua penduduk di sini mengandalkan transportasi publik atau berjalan kaki untuk berpindah tempat.Namun jangan salah sangka dengan negara ini, karena Korea Utara sudah punya kereta bawah tanah atau Pyongyang Metro sejak tahun 1970-an. Treknya saja mencapai 110 meter di bawah tanah.
Moda transportasi ini sebagian besar dibangun berkat bantuan China, dan menjadi kereta bawah tanah terdalam di dunia. Bus, trem, dan taksi juga beroperasi di ibu kota.
Meski cukup banyak moda transportasi publik, tapi jangan harap bisa leluasa menjelajahi kota lainnya selain Pyongyang.
Sebab semua warga asing harus dapat izin aparat setempat sebelum pergi ke luar kota Pyongyang. Peraturan ini diterapkan atas dasar keamanan.
Meski secara keseluruhan warga lokal ramah dan baik, tapi mereka tetap menjaga jarak dengan warga asing. Warga lokal di sini sangat menghormati warga asing, bahkan terkadang memperlakukannya cukup berlebihan seperti mempersilakan untuk menyelak antrean kasir di swalayan atau restoran.
Selain hal-hal yang bersifat duniawi, kumandang azan adalah hal yang cukup membuat kangen kampung halaman. Sejak saya tinggal di Pyongyang, saya tak pernah lagi mendengar merdunya suara azan.
Meski tidak ada larangan memeluk agama tertentu, namun fasilitas beribadah di Pyongyang juga sangat terbatas. Pemerintah di sini hanya menyediakan gereja sebagai tempat beribadah.
Untungnya masih ada masjid milik Kedutaan Besar Iran di kompleks kami, sehingga rindu untuk beribadah di rumah Allah masih bisa terbayarkan.
Puasa Lebih Lama
Rasa home sick semakin kuat ketika bulan Ramadan tiba. Menjadi warga minoritas di sini cukup membuat saya kesepian ketika bulan Ramadan datang.
Apalagi waktu puasa di sini sekitar 16 jam, di mulai waktu imsak sekitar pukul 03.00 dini hari dan buka puasa sekitar pukul 19.30 setiap harinya. Belum lagi ketika musim panas tiba, waktu berpuasa bisa jadi lebih panjang lagi.
Jika di Indonesia tradisi berbuka puasa dimeriahkan oleh berbagai macam jajanan manis dan gorengan gurih, di sini makanan halal pun sulit ditemui. Untuk itu saya mengakalinya dengan memasak sendiri atau membeli makanan non-daging seperti seafood dan sayur-sayuran.
Sewaktu saya masih bujangan, saya selalu menghabiskan momen buka puasa bersama para staf KBRI lainnya untuk membayar rasa rindu berkumpul bersama keluarga di Indonesia.
Kini setelah berkeluarga, rasa rindu itu terbayarkan sudah dengan menghabiskan momen Ramadan di sini bersama anak-anak dan istri saya yang merupakan warga Mongolia.
Kami juga rutin menghadiri acara buka puasa dan tarawih bersama di KBRI setiap seminggu sekali selama Ramadan.
Kerinduan akan kampung halaman juga semakin besar ketika saya tak bisa mendengar lantunan semangat takbir di malam menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Ilustrasi kereta bawah tanah di Pyongyang. (Reuters/Danish Siddiqui)
|
Komunitas Muslim di Pyongyang tidak banyak, semuanya merupakan warga negara asing yang bekerja di kedutaan-kedutaan besar negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) seperti Pakistan, Iran, Palestina, Nigeria, Mesir, Suriah, Nigeria, dan sejumlah organisasi internasional.
Saat Lebaran tiba, kami biasanya berkumpul di sebuah aula untuk salat id bersama. Selesai salat, kami lalu saling bertukar masakan khas negara masing-masing.
Masakan yang paling dijagokan KBRI adalah sate, rendang, dan es cendol. Ketiga masakan itu selalu laris manis setiap dihidangkan dalam acara tersebut setiap tahunnya.
Meski tanpa ketupat, ketiga masakan itu cukup membayar rasa rindu saya yang tidak bisa selalu pulang ke Indonesia setiap Lebaran tiba.
Terlepas dari seluruh keunikannya, saya menganggap Korea Utara sebagai rumah kedua saya, tempat saya menemukan keluarga--istri dan anak-anak--dan tempat mencari rezeki selama ini.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Tulisan yang dikirim minimal 1.000 kata dan dilengkapi minimal tiga foto berkualitas baik yang berhubungan dengan cerita. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ardita@cnnindonesia.com / ike.agestu@cnnindonesia.com / vetricia.wizach@cnnindonesia.com
[Gambas:Video CNN] (agr)
Baca Kelanjutan Lebaran Tanpa Gema Takbir di Negara Kim Jong-un : http://bit.ly/2WxrwekBagikan Berita Ini
0 Response to "Lebaran Tanpa Gema Takbir di Negara Kim Jong-un"
Post a Comment