Search

Sapporo yang Tak Kalah Seru dari Tokyo

Lancong Semalam

Christie Stefanie , CNN Indonesia | Minggu, 28/01/2018 10:51 WIB

Sapporo, CNN Indonesia -- Sebelum menikmati pengalaman bersalju di ClubMed Sahoro dan ClubMed Tomamu, saya singgah semalam di Sapporo.

Pusat kota Hokkaido itu memang menjadi destinasi wisata musim dingin di akhir tahun, dengan keberadaan Gunung Sahoro dan Gunung Tomamu yang diselimuti salju untuk pecinta ski.

Penerbangan dari Jakarta menuju Sahoro (Bandara Internasional Chitose) saya tempuh sekitar 12 jam, sudah termasuk transit di Tokyo (Bandara Internasional Narita).

Sampai di Sahoro, waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Walau berada di Asia, tapi dinginnya tetap terasa seperti di Eropa, dengan suhu sekitar -1 derajat Celcius malam itu.

Dari bandara, saya langsung menuju hotel yang berada di kawasan Susukino. Saya menumpang Chuo Bus yang bertarif JPY1.030 (Rp125 ribuan) per orang. Waktu tempuhnya sekitar 45 menit. Ada juga kereta dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Tapi saya yang kedinginan memilih langsung naik bus.

20.00 - Takoyaki di Susukino

Susukino merupakan surga belanja kaum yang berkantong tebal. Pilihan tokonya tak jauh berbeda dengan Mall Grand Indonesia.

Setelah meletakkan barang dan beristirahat sejenak, saya menyempatkan berkeliling Susukino.

Kawasan belanja ini dihiasi oleh lampu hias dan papan iklan. Selain toko ada juga bar dengan menu ramen dan bir. Ya, kedua menu itu memang identik dengan Sapporo yang disebut Kota Ramen dan Kota Bir.

Karena masih merasa kenyang, saya memilih jajan kaki lima. Kedai Gindaco Takoyaki saya sambangi.

Sapporo yang Tak Kalah Seru dari TokyoKaki lima yang wajib dicoba. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Menu yang saya pesan Teritamam berupa takoyaki yang dilumuri saus teriyaki dan salad telur. Rasanya belum ada restoran Jepang di Jakarta yang menjual menu ini.

Seharga JPY680 (Rp6.000-an), saya mendapatkan delapan takoyaki seukuran bola golf atau lebih besar dari yang biasa dijual di Jakarta. Harga yang lumayan untuk turis dengan dana terbatas seperti saya.

Sapporo yang Tak Kalah Seru dari TokyoMakan malam dengan takoyaki. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Ketakutan saya akan sulitnya berkomunikasi selama berada di Jepang tak terbukti di Sapporo. Di kawasan ramai turis sebagian besar penduduknya bisa berbahasa Inggris, meski dalam logat Jepang. Segala papan nama dan buku menu juga disertai bahasa Inggris. Khususnya untuk makan minum, jika bingung tinggal pilih gambar yang paling mengundang selera atau menyontek orang sebelah.
Sapporo yang Tak Kalah Seru dari TokyoMalam dan tetap ramai. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Karena sudah lewat pukul 21.00, sebagian besar toko di Susukino sudah tutup, walau keramaian tetap terlihat. Selain bar, tempat hiburan malam yang buka juga karaoke. Penduduk Jepang, terutama kaum pekerjanya, terkenal gemar berkumpul sambil bernyanyi, mirip seperti dalam komik Kariage-kun.

Salju juga turun di Sapporo, tapi tidak selebat di Sahoro dan Tomamu. Beberapa kali saya hampir terpeleset, sebelum akhirnya saya meniru cara berjalan penduduk di sana yang menyeret kakinya.

Penasaran, saya akhirnya mencoba berjalan dengan sepatu diseret dan ternyata berhasil! Rasanya berjalan di dataran licin jadi lebih aman karena kaki melangkah seperti sedang bermain ice skating.

10.00 - Dua ikon kota

Pagi harinya, saya memulai hari dengan sarapan onigiri yang dijual di minimarket Lawson persis di samping tempat penginapan saya.

Tak buang waktu, saya memulai perjalanan menuju Sapporo Clock Tower, salah satu ikon kota Sapporo. Saya berpikir tidak ada salahnya berkunjung ke tempat mainstream bagi turis karena ini menjadi pengalaman pertama berkunjung ke Sapporo.

Dari jauh, bangunan putih berdesain Amerika itu sudah menarik perhatian dan sudah dipenuhi turis.

Di bagian depan dua spot berfoto disediakan, yakni persis di depan dan di samping pintu masuk.

Sapporo yang Tak Kalah Seru dari TokyoAsal usul kota Sapporo ada di sini. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

Sapporo Clock Tower dibangun pada tahun 1878 dan digunakan sebagai ruangan teater Universitas Sapporo. Kini, bangunannya yang masih kokoh menjadi museum.

Pengunjung dapat mengetahui sejarah pembangunan kota Sapporo dalam museum ini dengan dengan membayar tiket masuk seharga JPY200 (Rp24 ribuan) per orang.

Ada juga patung Dr. William S. Clark, profesor kimia dari Amerika Serikat yang dulu diundang ke Sapporo untuk menjadi konsultan pertanian.

Sapporo yang Tak Kalah Seru dari TokyoPatung Dr. William S. Clark. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)

"Berambisilah, bukan untuk uang atau popularitas. Tetapi berambisilah untuk pengetahuan, belajar, dan kebenaran," tulis pesan Clark yang diukir di pinggir patungnya dalam berbagai bahasa.

Di lantai yang sama, ada jam besar yang membunyikan loncengnya setiap jam.

11.00 - Odori Park yang tak berbunga

Setelah puas berkeliling dan berfoto, saya melanjutkan perjalanan menuju Odori Park. Saya memilih berjalan kaki agar bisa sekaligus melihat Sapporo TV Tower. Hanya butuh waktu sekitar delapan menit berjalan kaki dari Sapporo Clock Tower ke TV Tower.

Persis dari seberang Sapporo TV Tower terdapat jembatan penyeberangan orang yang sering digunakan menjadi spot berfoto dengan latar belakang menara berwarna oranye itu.

Saya lanjut berjalan kaki menuju Odori Park. Sepanjang perjalanan, saya hanya bermodalkan kekuatan kaki, peta daring, serta google. Menariknya, berdasarkan peta Odori Park terlihat sudah sangat dekat dengan Sapporo TV Tower.

Tetapi, pemandangan di depan mata saat itu sangat berbeda dengan Odori Park yang saya lihat sebelumnya di internet. Odori Park yang saya lihat tidak memiliki bunga beraneka warna yang bermekaran.

Saya bolak-balik melewati tempat yang sama, hingga akhirnya bertanya kepada seorang ibu yang sedang duduk di sebuah bangku taman.

Ternyata, ibu ini fasih berbahasa Inggris. Saya langsung bertanya letak Odori Park yang saya cari, sambil memperlihatkan foto dari internet.

Ibu itu menjelaskan bahwa keramaian dalam foto yang saya tunjukkan itu berlangsung dari Februari hingga Oktober, sesudah dan sebelum musim dingin.

Sebagai gantinya, pada musim dingin Odori Park menyelenggarakan festival lampu. Sang ibu menyarankan saya kembali petang hari. Tetapi sayang saya tidak bisa melakukannya, karena sudah harus bertolak ke Sahoro malam harinya.

Tapi Odori Park masih tetap bisa dinikmati di siang hari, terutama untuk yang ingin piknik dalam taman luas di tengah keramaian kota.

Satu hal menarik perhatian saya di sana adalah penampakan beberapa ruang merokok yang berpintu otomatis. Seandainya ruangan seperti itu ada di Jakarta, mungkin para perokok bakal lebih disiplin dalam membuang puntungnya ke tempat yang sudah disediakan.

Bersambung ke halaman berikutnya...

(ard)


1 dari 2

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Sapporo yang Tak Kalah Seru dari Tokyo : http://ift.tt/2EjJswV

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sapporo yang Tak Kalah Seru dari Tokyo"

Post a Comment

Powered by Blogger.