Tetapi masalah transportasi di Kinshasa, ibukota Republik Demokratik Kongo (DRC), memang pantas disebut sebagai mimpi buruk dunia.
Dalam kawasan yang dihuni 13 juta orang, berangkat ke tempat kerja berarti pertempuran dengan jalan-jalan macet dan bus penuh sesak, taksi kuning dan sepeda motor, dengan latar belakang klakson, polusi, pedagang asongan, ditambah kecelakaan.
Singkatnya, perjalanan bak neraka sepanas sauna.
Selama jam sibuk, para komuter berdesak-desakan naik angkutan umum selama satu atau dua jam ke depan, sehingga satu sama lain bakal akrab dengan anatomi dan bau badan sesama penumpang.
"Setiap hari kami berdesakan seperti ikan sarden. Sesampainya di tempat tujuan kami sering kelelahan," keluh mahasiswa hukum di Esperant Kashama.
Pada jam-jam sibuk, tidak jarang kecepatan kendaraan rata-rata berada jauh di bawah 10 kilometer per jam.
Di daerah-daerah yang lebih miskin seperti Lemba, Matete dan Ndjili, dibutuhkan waktu hingga dua jam untuk mencapai Gombe, jantung bisnis kota.
Pembangunan infrastruktur
Seperti dua kota besar lainnya di Afrika, Kairo dan Lagos, Kinshasa telah gagal mengatasi tantangan dari pertumbuhan populasi dan infrastruktur yang lemah.
Tantangan itu hanya akan bertambah buruk di tahun-tahun mendatang, karena, pada tahun 2030, Kinshasa akan menempati peringkat 10 kota terpadat di dunia, menurut perkiraan PBB.
Karena tidak memiliki jaringan kereta api pinggiran kota, kota ini sangat tergantung pada jalan raya.
Presiden Felix Tshisekedi telah melayangkan rencana-rencana pembangunan untuk memperlebar jembatan-jembatan vital yang membentang di Sungai Kongo, tetapi skema itu dikritisi, dengan para kritikus mengatakan pembangunan melanggar batas ruang publik.
Pemerintahannya juga menempatkan robot aluminium bertenaga surya yang dilengkapi dengan kamera dan lampu untuk mengatur arus lalu lintas dan mengirim gambar langsung ke polisi.
Langkah mengatasi masalah transportasi juga termasuk pembelian puluhan bus dari perusahaan asing demi membuat nyaman alat transportasi - jika tidak harus lebih cepat - untuk penumpang.
Di masa lalu, bus lokal yang sudah reyot dijuluki "Roh Kematian" karena perawatannya yang buruk.
Kendaraan baru telah dibaptis dengan suara yang lebih optimis: "Roh Kehidupan."
Keruwetan jalanan di Kinshasa. (John WESSELS / AFP)
|
Pembaharuan transportasi
Beberapa start-up transportasi telah bekerja untuk mengatasi masalah ini, dengan pengembangan aplikasi taksi bergaya Uber.
Salah satunya, Ubizcab, ditujukan langsung ke kelas menengah dengan pendingin udara yang bertarif sekitar US$40 (sekitar Rp571 ribu) untuk perjalanan ke bandara.
"Kami mulai dari kelas menengah. Kami ingin mempertahankan standar yang sama dengan model kendaraan yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan seluruh populasi," kata kepala perusahaan Patricia Nzolantima kepada AFP.
Pihak berwenang juga telah berusaha menindak pengemudi taksi nakal dalam upaya untuk mengurangi perampokan dan penculikan.
Tahun lalu, pemilik taksi dan taksi diminta untuk mengecat ulang kendaraan mereka dengan warna kuning dan memastikan plat nomor terlihat jelas.
Meski demikian Sonia - bukan nama sebenarnya - masih saja menjadi korban kejahatan.
"Saya naik taksi kolektif pada saat yang sama dengan beberapa orang lain. Saya pikir mereka adalah klien. Tetapi dia adalah kaki tangan," kata siswa dan model itu.
Di kursi belakang, wanita muda itu dicekik dan dirampok teleponnya dan US$130 (sekitar Rp1,8 juta), sebelum dikeluarkan dari taksi.
"Saya telah mengajukan keluhan," katanya. "Namun polisi meminta saya untuk membayar (setara dengan) US$100 (sekitar Rp1,4 juta) untuk membuka penyelidikan."
(ard)
Baca Kelanjutan Kinshasa, Kota dengan Kemacetan Bak Neraka Dunia : http://bit.ly/2XlLCIiBagikan Berita Ini
0 Response to "Kinshasa, Kota dengan Kemacetan Bak Neraka Dunia"
Post a Comment