Seorang peneliti terumbu karang, Dr. Ir. Suparno, M. Si, yang pernah melakukan penelitian terumbu karang di Kepulauan Mentawai usai tsunami mengatakan, daerah yang paling parah terimbas adalah yang memiliki kedalaman 3-7 meter.
"Dalam penelitian saya, laut yang dangkal lebih parah kehancurannya dibanding yang dalam atau (memiliki kedalaman) di atas 10 meter," ujar Suparno, saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon pada Rabu (3/10).
Menurutnya hal itu disebabkan perubahan substrat dasar. Karena setelah tsunami menghantam gelombangnya masuk ke daratan, dan saat kembali ke laut gelombang itu membawa lumpur.Substrat dasar perairan adalah seluruh bahan-bahan yang terdapat dalam perairan terutama yang bersifat anorganik.
Bahan atau substrat ini biasanya bergantung pada proses sedimentasi.
Sebagai contoh pada daerah pantai substrat lebih banyak berbentuk pasir, untuk daerah sungai dan muara lebih banyak berbentuk lumpur.
Hal itu disebabkan juga oleh kondisi sekitarnya, baik yang bersifat organik maupun yang anorganik.
Menurutnya untuk mengembalikan kondisi terumbu karang ke semula, prinsip substrat dasar terumbu karang haruslah karang keras.
Itu sebabnya, Suparno melanjutkan, tidak diperbolehkan menambang karang karena anakan karang tidak bisa tumbuh.
"Selama ini terumbu karang tumbuh pada karang mati, jadi berubahnya ekosistem laut memengaruhi pertumbuhan karang," kata peneliti yang menulis jurnal berjudul 'Kajian Kondisi Terumbu Karang pasca Gempa dan Tsunami di Pulau Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai' (2015).
"Karang lebih susah tumbuh jika susbtrat dasarnya mengandung lumpur dari daratan. Ini yang terjadi di Mentawai. Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi Palu," lanjutnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Suparno di Mentawai dilakukan 3,5 tahun pasca tsunami.
Menurutnya pertumbuhan anakan karang di sana sampai sekarang masih sangat lambat.
"Hasilnya kategori rekruitmen karang berada dalam kategori sangat rendah, namun ada karang yang tumbuhnya dominan yaitu jenisnya Porites cylindrica," kata Suparno.
"Hasil ini ternyata mirip dengan apa yang terjadi di Nias. Setelah tsunami, ternyata ada jenis karang yang tumbuhnya lebih dominan. Meskipun nanti kalau sudah besar juga berubah, tapi di awal-awal banyak tumbuh jenis itu," lanjutnya.
Sementara itu, sebuah jurnal berjudul 'Hubungan Sustrat Dasar Perairan dengan Kehadiran Rumput laut Alam di Perairan Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat' yang ditulis oleh Ofri Johanm Erlania dan I Nyoman Radiarta, menulis bahwa karang dapat hidup dengan baik di lokasi yang sering terkena ombak.
"Sehingga kebutuhan oksigen dan nutrien dapat terpenuhi secara optimal, dan pengendapan sedimen tidak terjadi karena selalu ada pergerakan air dengan adanya ombak," tulis jurnal tersebut.
(CNN Indonesia/Laudy Gracivia)
|
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib Terumbu Karang Indonesia Usai Tsunami"
Post a Comment