Massa memang belum terkumpul banyak, tapi semangat perempuan-perempuan dari berbagai organisasi dan latar belakang sudah berkobar.
Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, sebuah aksi diadakan di depan gedung DPR/MPR. Satu per satu mereka meneriakkan gagasan serta tuntutan perempuan. Namun, mereka berada di bawah naungan yang sama yakni Parade Juang Perempuan Indonesia, salah satunya adalah Tri.
"Kita harus berani menyuarakan apa yang kita inginkan yaitu kesetaraan," kata Tri orator dan anggota Organisasi Perempuan Mahardika, Kamis (8/3).
Dalam orasinya, dia mengungkapkan bahwa bahwa pemerintah tak berpihak pada perempuan, kelompok minoritas, dan kaum LGBT. Aneka pelarangan mulai dari rok mini hingga yang belum lama terjadi yaitu pelarangan cadar menurutnya makin memangkas kebebasan berekspresi perempuan.
"Dari ujung kaki sampai ujung kepala, perempuan itu selalu disalahkan," katanya.
Hal terakhir yang menurutnya patut jadi persoalan ialah kesejahteraan buruh perempuan. Banyak perusahaan yang tidak memberikan hak cuti antara lain cuti hamil, cuti haid serta ketersediaan ruang laktasi.
"Kalau buruh-buruh itu hamil, mereka dipecat," teriaknya.
Sekitar 50 persen buruh perempuan takut hamil
Foto: CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari
Aksi Hari Perempuan Internasional |
Dalam sebuah survei yang belum lama ini dilakukan Perempuan Mahardhika, terdapat temuan bahwa 50 persen buruh perempuan merasa takut saat hamil. Sekretaris nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika mengungkapkan ada dua hal yang jadi penyebab utama.
"Karena satu, takut kehilangan pekerjaan. Dua, takut berkurang pendapatan," kata Ika saat ditemui usai konferensi pers Parade Juang Perempuan Indonesia di gedung LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (6/3).
Kehamilan, kata Ika, jadi modus perusahaan untuk memecat buruh perempuannya. Pemecatan dilakukan agar perusahaan lepas dari tanggung jawab untuk memberikan cuti hamil dan melahirkan serta gaji selama cuti.
Pihaknya pun menyoroti fenomena adanya buruh yang kembali bekerja tapi masa kerjanya hilang. Hal ini berarti masa kerja dihitung dari nol sehingga buruh tidak mendapat hak cuti.
Survei ini melibatkan 773 buruh perempuan yang bekerja di perusahaan garmen, khususnya di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Timur. Ika menjelaskan survei dilakukan khusus pada buruh garmen sebab 80 persen buruh garmen adalah perempuan.
"Selain itu, buruh garmen ini berada di sektor formal tapi relasi kerjanya informal jadi walau kelihatannya formal di pabrik tapi relasi kerja informal jadi ada ketidakjelasan status kerja juga beberapa hak normatif hilang," tambahnya.
Untuk menindaklanjuti hasil survei, pihaknya pun membangun aliansi bersama Pokja Buruh Perempuan. Dalam aksi Parade Juang Perempuan Indonesia, ia ingin mengkampanyekan soal situasi ini. Menurutnya hal ini tak hanya terjadi di industri manufaktur tapi juga industri lain termasuk industri media.
"Kami juga memberikan rekomendasi. Saat ini kami sedang membangun dialog sosial dengan pihak perusahaan, pemerintah dan serikat buruh. Kami melihat serikat buruh adl kekuatan jadi ingin mendiskusikan persoalan ini agar jadi kepentingan serikat untuk mengangkatnya," kata Ika. (chs)
Baca Kelanjutan 'Dari Ujung Kaki Sampai Kepala, Perempuan Selalu Salah' : http://ift.tt/2FquqVNBagikan Berita Ini
0 Response to "'Dari Ujung Kaki Sampai Kepala, Perempuan Selalu Salah'"
Post a Comment