Namun jika dilihat lebih teliti, motif topi itu sebenarnya adalah motif kartu domino. Kreativitas dan ketertarikannya di dunia seni serta profesinya sebagai art dealer sebelum menjadi desainer membuatnya dekat dengan karya-karya seniman Surealis asal Argentina Leonor Fini, yang dikenal menggambarkan ide-ide kekuatan dan ketangguhan perempuan.
Kini, 60 tahun kemudian, Maria Grazia Chiuri, desainer Christian Dior perempuan pertama, mencoba membangkitkan semangat Surealis tersebut ke dalam koleksi yang mengagumkan. Inspirasi terbesarnya, perempuan.
Untuk koleksi perdananya, Maria Grazia mengambil kalimat We Should All Be Feminist dari esay karya Chimamanda Ngozi Adichie, seorang aktivis perempuan asal Nigeria.
![]() |
![]() |
Partnernya di Valentino, Pierpaolo Piccioli, masih bertahan di Valentino) dan memberikan suntikan eksentrik yang playful. Motif-motif domino muncul di mantel serta gaun chiffon. Maria Grazia juga keluar dari zona aman Dior dan menampilkan sisi lain dari kekuatan visual yang dimiliki oleh perempuan.
Gaun trompe-l'oeil bermotif payudara seperti memberi pesan kebanggaan terhadap tubuh perempuan.
Tentu saja koleksi Dior tidak lengkap tanpa kehadiran Bar Jacket. Dipasangkan dengan setelan pantsuit, exit ini memang mirip dengan exit pertama Christian Dior saat didesain oleh Raf Simons, yang berjasa membawa Dior melangkah ke era modernitas. Namun secara keseluruhan, feminisme Dior akan tetap menjadi tour de force rumah mode Prancis itu.
![]() |
(chs)
Baca Kelanjutan Feminisme, Surealisme, dan Haute Couture Dior : http://ift.tt/2nil07yBagikan Berita Ini
0 Response to "Feminisme, Surealisme, dan Haute Couture Dior"
Post a Comment