Search

Tegal Parang, Jejak Kampung Kerak Telor di Selatan Jakarta

Jakarta, CNN Indonesia -- Ruwet, adalah kata pertama yang terlintas dalam benak saat melintasi kawasan Tegal Parang saat jam kerja. Jalanan di sini memang menjadi jalan pintas bagi pengemudi kendaraan yang hendak menuju Kuningan atau Mampang. Tapi ide mengenai jalan pintas di Jakarta menjadi humor tersendiri saat ini, karena rasanya kota ini tak lagi memberi warganya jalan pintas keluar dari kemacetan.

Di pinggir Jalan Mampang Prapatan XI, Tegal Parang, yang berkapasitas dua mobil terlihat ada sebuah warung yang dijaga seorang lelaki tua berusia sekitar 70 tahunan. Saat disambangi CNNIndonesia.com pada Selasa (18/6) ia terlihat sedang melayani pembeli. Bukan sembako atau es kopi susu kekinian yang dijualnya, melainkan arang.

Pembelinya kebanyakan pedagang Kerak Telor, yang sudah turun temurun menghuni Tegal Parang. 


Lelaki penjaga warung itu bernama Bunyamin, atau biasa disapa Amin. Ia membenarkan soal Tegal Parang yang menjadi kampung para pedagang Kerak Telor.

Identitas Tegal Parang mirip dengan Tegal yang menjadi kampung pemilik warteg, Garut yang menjadi kampung tukang cukur rambut, atau Blambangan (Banyuwangi) yang menjadi kampung tukang vermak jeans.

Amin mengaku sudah berjualan Kerak Telor sejak tahun 1975. 

Ia masih ingat saat pertama kali berjualan Kerak Telor di Pekan Raya Jakarta (PRJ) saat masih berlokasi di Monumen Nasional (Monas), sebelum PRJ kembali berpindah lokasi di Senayan dan Kemayoran. 

Saat itu ia masih remaja, usianya bahkan belum genap 20 tahun ketika sang ayah mengajaknya berdagang Kerak Telor.

Ayah Amin bukanlah generasi pertama pedagang kerak telor di Tegal Parang, masih ada dua generasi lagi dalam keluarganya yang lebih dulu memikul gerobak dan duduk mengipasi tungku Kerak Telor.

Saat ditanya asal mula kawasan ini menjadi Kampung Kerak Telor, Amin tak bisa banyak menjawab.

Selain minimnya pengarsipan sejarah, Amin juga mengaku banyak mendengar legenda simpang siur mengenai sejarah Tegal Parang yang belum bisa ia konfirmasi.

"Dulu sih engkong (kakek dalam bahasa Betawi) juga udah ikutan dagang Kerak Telor. Di zaman itu juga udah lumayan banyak yang dagang. Kalau yang pertama banget dagang kagak ngarti deh sape," ujarnya.

"Tapi emang udah lama sih tempat ini jadi kampungnye pedagang Kerak Telor. Di Mampang 10 sampe 12 aje yang dagang sekarang 80-an (orang). Dulu mah lebih banyak lagi."

Tegal Parang, Kampung Kerak Telor di Selatan JakartaFikri, salah satu pedagang Kerak Telor di PRJ Kemayoran yang berasal dari Tegal Parang, Jakarta Selatan. (CNN Indonesia/Artho Viando)

Namun Amin masih ingat pengalaman pertamanya diajak sang ayah berdagang Kerak Telor di Monas, karena saat itu ia harus berjalan kaki melewati kawasan Kuningan yang kala itu masih menjadi lokasi peternakan sapi.

Bandingkan suasananya sekarang, bahkan ada kamar hotel bertarif Rp5 juta per malam di sana.

"Ada juga tuh tukang Kerak Telor yang naik Alphard. Langsung pada kaya dah abis dagang di PRJ. Tapi abis itu bokek lagi... Ya namanya juga orang Betawi, ga bisa pegang uang."soal keuntungan pedagang Kerak Telor di PRJ Kemayoran.
"Dulu kalo mau pada dagang di Monas, pada jalan kaki dari sini. Lewat kandang sapi di Kuningan, terus lewatin Menteng, Gondangdia, nyampe dah Monas. Gelap jalannya dulu, sekarang mah udahrame bener," ujarnya sembari tertawa. 

"Habis dari Monas terus pindah Gambir. Di sono dagang ga enak gegara kucing-kucingan sama polisi. Akhirnya pindah ke Stadion Persija di Menteng. Habis Stadionnya dipindah, ya kebanyakan dagang di acara-acara aja," lanjutnya.

Saat ini Amin sudah tidak berdagang Kerak Telor, namun ia masih berhubungan dengan Kerak Telor; Ia menjadi penyuplai perlengkapan untuk berdagang Kerak Telor, mulai dari gerobak, arang, panci, dan lainnya.

Ia ingat terakhir berdagang Kerak Telor di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) tahun lalu, dagangannya tidak terlalu laku karena lokasinya yang tidak terlalu strategis. 

Menurutnya berdagang di PRJ perlu modal besar untuk sewa tempat, semakin strategis maka semakin mahal harganya.

"Sekarang kalau gak salah Rp10 juta, tapi kalo mau yang tempatnya keliatan orang bisa sampe Rp15 juta," kata Amin.

Pengakuan Amin seakan mengungkap fakta bahwa pengelola PRJ Kemayoran lebih senang melestarikan keuntungan ketimbang sejarah.

Tapi lain cerita bagi pedagang Kerak Telor yang bisa mendapatkan tempat strategis untuk membuka lapaknya.

Dalam sehari, satu porsi Kerak Telor yang dijual seharga Rp30 ribu itu, bisa laku minimal 100-200 porsi. Jumlah tersebut bisa dua kali lipat saat akhir pekan.

Udin, salah satu penjaga lahan parkir di Tegal Parang yang diwawancarai secara terpisah hari itu. Dia mengatakan ada temannya sesama penjaga parkir yang bisa mengantongi keuntungan hingga ratusan juta setelah berjualan Kerak Telor di PRJ Kemayoran.

"Pernah denger cerita dari dia ada juga tuh tukang Kerak Telor yang naik Alphard. Langsung pada kaya dah abis dagang di PRJ. Beli rumah, beli motor. Tapi abis itu bokek lagi... Ya namanya juga orang Betawi, ga bisa pegang uang," katanya sembari tertawa.

Ketika ditanya kenapa di kawasan Tegal Parang jarang ditemui ada pedagang Kerak Telor yang berjualan, Amin menuturkan kebanyakan pedagang dari Tegal Parang berjualan di tempat yang lebih ramai. 

Ia mencontohkan jika akhir pekan, para pedagang Kerak Telor akan bertolak menuju Setu Babakan, kawasan yang digagas sebagai Perkampungan Betawi oleh Pemprov DKI Jakarta.

"Dulu sih orang kalau ke Jakarta, salah satu oleh-olehnya ya Kerak Telor. Pengen sih kalau besok-besok Tegal Parang bisa disamperin orang yang mau nyari Kerak Telor," kata Amin.

"Taon kemaren kan udah ada Festival Kampung Kerak Telor tuh, semoga aje taon ini ada lagi dan makin kedengeran," harapnya.


[Gambas:Video CNN]

(ard)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Tegal Parang, Jejak Kampung Kerak Telor di Selatan Jakarta : http://bit.ly/2ZHv1vJ

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Tegal Parang, Jejak Kampung Kerak Telor di Selatan Jakarta"

Post a Comment

Powered by Blogger.