Susan dan murid-muridnya bukan hanya menunjukkan 'kegilaan' imaji mereka dalam merancang busana layak pakai dari bahan bekas, tetapi juga memberikan nyawa serta harapan baru bagi industri mode dari produk sandang industri pariwisata yang ternyata menjadi calon limbah ancaman lingkungan.
Dalam peragaan sekitar 68 busana yang ditampilkan Susan bertajuk Linens for Life di Hotel Sofitel Nusa Dua, Sabtu (23/3), bahan-bahan linen itu menjadi koleksi busana ready-to-wear beraneka ragam tema: mulai dari after sport, kasual, bisnis, hingga empat musim.
Susan, di usia kariernya lebih dari empat dekade, masih merasa tertantang menaklukkan bahan linen bekas untuk menjadi sebuah karya baru. "Bagi saya [proyek ini] jadi tantangan, karena sudah lama juga tidak turun [membuat karya]," kata Susan saat ditemui di Bali, beberapa waktu lalu.
"Saya ingin menunjukkan kepada orang yang mengira [mengolah] seprai itu langsung di-tie dye. Saya ingin menaikkan pangkatnya jadi lebih tinggi lagi,"
Ambisi Susan untuk menaklukkan tantangan tersebut semakin menggebu ketika tawaran mengolah ulang linen bekas itu dilengkapi dengan sebuah pelelangan karya mereka. Bukan hanya itu, Susan pun menerima tawaran untuk mengajarkan ibu-ibu tunakarya untuk ikut mengolah kain tersebut menjadi pencaharian baru.
"Dari segi pendidikan kita perlu ada tantangan, anak-anak [murid] juga perlu jam terbang. Ini bahan sudah disediain, kenapa tidak? Terus, berbuat sesuatu untuk kemanusiaan juga, kenapa tidak? Jadi tidak hanya sekadar show lalu selesai."
![]() |
Susan menyebut tak gampang mengolah linen bekas, bahkan untuk seorang maestro desainer yang sudah berkecimpung di dunia mode selama empat dekade seperti dirinya. Ada banyak kesulitan, mulai dari kondisi linen yang sudah bernoda hingga tak lagi utuh, sampai masalah pengolahan yang terkendala material juga cuaca sehingga mempersempit kesempatan durasi pengerjaan.
Tapi Susan tak patah arang. Begitu pula dengan para murid yang dengan sukarela ikut 'riweuh' dalam proyek ini. Mereka, yang semuanya adalah desainer baru, bekerja putar otak dan menguras energi untuk memberikan nyawa serta energi baru pada linen ini sesuai dengan standar dan imaji mereka.
"Saya merasa ini sebagai sebuah tantangan. Bahannya tidak lazim. Kalau seprai mungkin biasa, tapi kalau handuk itu bingung, ditaruh di luar lucu ditempatkan di dalam [baju] ketebalan. Apalagi ini bekas," kata Andre Puspa, salah satu alumni LBTP Susan Budihardjo yang ikut berpartisipasi dalam proyek ini.
Eksploratif
Dalam peragaan busana Linens for Life, Andre menampilkan koleksi bertajuk Birth of Rebellion yang ia akui terinspirasi dari kisah-kisah apokaliptik nan nuansa gahar. Namun kondisi linen bekas membuat karyanya jauh dari angan.
Niat awal, Andre ingin membuat blus dengan gaya ala cyberpunk dengan kesan yang agresif, keras, dan aktif. Namun hambatan berupa material bahan yang 'menolak' warna saat pencelupan hingga cuaca yang menghambat pengeringan justru nyaris membuat karyanya gagal.
Andre putar otak sehingga terlahir koleksi dengan warna yang cerah dan muda. Potongan dan aksen yang maskulin berpadu dengan kesan feminin dari warna muda. Pada akhirnya, bukan pakaian apokaliptik nan gelap dan suram sesuai rencana yang muncul, melainkan pakaian untuk yang aktif namun berjiwa muda yang terasa lebih menyenangkan.
"Tantangan itu bagian yang tidak membuat bosan. Kalau barang baru kan tinggal proses, jadinya cepat," kata Andre.
Sebanyak 68 tampilan sukses menyapu bersih kesan kain bekas dalam karya mereka.
![]() |
Bahkan beberapa koleksi sanggup jadi kejutan dan membuat terpukau. Seperti yang dilakukan Luh Wina Sadevi atau Wina. Wina memutuskan mengubah seprai putih menjadi sebuah cocktail dress berwarna mustard yang cantik.
Potongan yang sederhana dengan rok bergelombang nan melayang sebenarnya bisa membuat tampilan pakaian itu tampak biasa. Namun Wina memberikan sentuhan hand-made berupa motif bunga dari bahan brokat yang dijahit sendiri. Tindakan ini membuat kesan gaun menjadi elegan dengan kadar yang pas.
Atau seperti yang dilakukan oleh Liza Chan. Melalui tangannya, bahan linen bekas mampu tampil bak baju berkelas, seksi, dan glamor dengan nuansa metalik yang berkilau. Potongannya yang provokatif sedikit mengingatkan akan baju yang kerap dipakai Lady Gaga saat red carpet.
Nuansa formal namun tetap cantik dan elegan ditunjukkan oleh koleksi Ni Putri Indah dalam koleksi Adam dan Hawa serta Ni Made Rica dalam koleksi Business Women. Menggunakan hitam dan warna alam, potongan yang sederhana, dan aksesori manik-manik dekoratif, jelas seprai bisa terlihat sekelas baju bagi para eksekutif muda wanita.
Seprai dan linen bekas juga bisa tampil mewah, seperti yang ditunjukkan oleh Ni Luh Putu Kurnia, atau Nia, melalui koleksi bernama Garden of Eden. Nia menyulap seprai bekas menjadi gaun-gaun cantik berwarna nude dengan permainan siluet yang cantik. Ia lalu memperkaya dengan pulasan warna indigo yang membuat kesan semakin dramatis.
Permainan warna dan motif juga ditunjukkan sejumlah murid Susan berkat aplikasi teknik shibori dan tie dye, seperti Vidya dengan koleksi Inspiring Sunset yang ceria, Donny Silvester dengan koleksi Where the Streets Have No Name yang dinamis, Andri Sutami dengan The Oceans yang memperkaya pencinta denim, serta Dahlia dengan koleksi Transformation.
Namun memang tak semua desainer berhasil mengolah linen dengan prima. Sejumlah koleksi masih menunjukkan konsep yang belum matang serta eksekusi yang tak sempurna. Beberapa desainer masih hanya sekadar mengganti warna, memotong, dan menggabungkan untuk menjadi sekadar baju, bukan meningkatkan tampilan dan memberi jiwa pada linen-linen bekas ini.
![]() |
Tak Kapok
Koleksi Susan Budihardjo jadi klimaks dari pagelaran busana. Ia menunjukkan permainan modifikasi baju dengan teknik pencelupan yang mutakhir dalam koleksi yang sebenarnya terlihat sederhana. Susan menggunakan bahan seprai bekas yang kemudian ia sulap menjadi warna hitam, yang sempat membuatnya bergidik jijik.
Usai menggunakan teknik pencelupan dengan mesin yang canggih, Susan kemudian ingin menggunakan digital print pada kainnya untuk menampilkan lukisan nuansa Omar, Perancis. Namun nyatanya warna tak menempel. Akhirnya ia putar otak dengan mencetak pada kain poliester dan menempelkannya pada pakaian.
Usaha Susan tak sia-sia. Ia berhasil membuat tiga pakaian yang mewakili musim semi, panas, dan gugur. Lalu Susan membuat outer yang melengkapi tiga pakaian tersebut untuk layak dikenakan pada musim dingin. Lengkaplah pakaian empat musim Susan Budihardjo.
"Saya belum pernah [menangani Linen]. Ini pertama sekali makanya tantangan banget. Saya ingin menaikkan tingkatnya bukan lagi seprai bekas," kata Susan.
Melalui karya Susan yang bertajuk Seasons with Linens, ia menunjukkan kapasitasnya sebagai 'guru' dari para desainer Indonesia. Idenya melompat jauh. Ia bukan hanya menaikkan 'harkat' linen bekas, melainkan melampaui imaji kebanyakan orang dalam upaya mendaur ulang bahan tersebut.
Susan, dengan karyanya yang edgy namun masih ada sentuhan romansa 70-an itu, membawa harapan baru bahwa barang bekas bukan hanya sekadar untuk dibuang dan dibakar ketika sudah tak lagi digunakan, tapi juga bisa menjadi aset ekonomi.
![]() |
Begitu pula dengan karya desainer lainnya. Terlepas dari berbagai drama dan kekurangan dalam mengolah linen bekas akibat masalah waktu juga teknis, prototipe yang mereka ciptakan sejatinya adalah peluang bagi industri mode menambah pundi-pundi tanpa harus menciptakan limbah baru.
Akan sangat mengherankan bila prototipe yang mereka ciptakan tak dilirik oleh industri dan diproduksi massal, tentu menggunakan linen bekas. Bila ini terwujud, bukan mustahil pula akan mengubah industri mode dan pandangan orang akan barang-barang bekas yang selama ini dianggap sebagai sampah belaka.
Apalagi menurut pengakuan Risya Wulansari, selaku kepala CSR Accor bagian Bali-Lombok sekaligus General Manager Ibis Style Bali Benoa, pihaknya bisa mengganti berbagai linen yang mereka pakai bisa 6-12 bulan sekali dengan linen yang diganti mencapai 2.000 buah. Sehingga, satu hotel saja bisa menghasilkan ribuan kilo saat mengganti linen.
"Awalnya yang menolak [bergabung] banyak. Saya juga pernah kirim wakil [menyurvei rencana mengolah linen], dan ia bilang 'no profit'," kata Susan lalu tertawa.
![]() |
"Saya sendiri merasa bangga bila ada yang mau mengenakannya [karya Linens for Life]. Berarti saya berhasil," kata Susan. "Mudah-mudahan ada jalannya itu berton-ton [linen bekas] mau diapain."
(chs)
Baca Kelanjutan Menaikkan 'Derajat' Linen dan Seprai Bekas Jadi Karya Mode : https://ift.tt/2FK64c4Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menaikkan 'Derajat' Linen dan Seprai Bekas Jadi Karya Mode"
Post a Comment