Kehadiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa seakan menjadi angin segar bagi penuntasan praktik pasung. Namun, kenyataan bicara berbeda. Beleid itu tak memberikan penurunan yang signifikan pada praktik pasung.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dicantumkan dalam laporan teranyar Human Right Watch, angka pasung mengalami penurunan. Dari 13.528 pada Desember 2017 menjadi 12.382 pada Juli 2018.
Dewan Pakar Badan Kesehatan Jiwa (Bakeswa) Indonesia, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan bahwa peraturan turunan yang alpa dari UU Kesehatan Jiwa menghambat jalannya program bebas pasung yang dicanangkan Kementerian Kesehatan.
Impian lawan ini terus mundur. Tercatat sebelumnya, Indonesia sempat mencanangkan bebas pasung pada 2014 dan 2017. Namun sayang, upaya itu kudu kandas.
"Bebas pasung akan sulit jika tidak disinergikan, diintegrasikan semua di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah," kata wanita yang akrab disapa Noriyu ini pada CNNIndonesia.com saat ditemui di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (10/10).
Undang-undang harus diturunkan ke dalam RPP, Perpres, Permenkes, dan Permensos. Peraturan turunan bakal mengawal pelaksanaan program di lapangan dengan bahasa yang lebih bersifat teknis.
Kini, kata Noriyu, pelaksanaan bebas pasung berada pada tahap 'bottle neck'. Artinya, keinginan untuk bebas pasung malah terhambat undang-undang lantaran tak adanya koordinasi lintas sektoral, baik itu antarinstansi pemerintah pusat atau dengan pemerintah daerah.
"Menurut saya semua bisa jalan, bisa disinergikan, kemudian bisa ada perkembangan sehingga lebih produktif lagi, lebih manfaat lagi," jelas Noriyu.
Alasan pasung masih awet
Dalam kesempatan kunjungannya ke Harvard University pada 2015, Noriyu sempat meminta pada mahasiswa di sana untuk melakukan penelitian mengenai pasung di Indonesia. Dari narasi mahasiswa, dia memperoleh gambaran bahwa ada tiga hal yang membuat pasung masih terasa awet di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta dan Bali menemukan tiga hal. Pertama, pihak keluarga telah berkali-kali membawa pasien berobat namun tak kunjung bertemu solusi.
Kedua adalah akses. Keluarga mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan jiwa. Temuin ini diperkuat dengan kunjungan kerja Komisi IX DPR RI yang menemukan adanya keluarga yang tak sanggup membawa pasien untuk kontrol secara medis akibat minimnya akses.
Terakhir adalah secara kultural. Dalam beberapa kasus, individu merasa lebih awam dengan istilah 'ahli spiritual' dan 'penanganan alternatif' dibandingkan 'dokter jiwa'.
"Kalau dengar penjelasan tentang skizofrenia, bisa mabuk dia enggak ngerti apa-apa," kata Noriyu. (els/asr)
Baca Kelanjutan Impian 'Hampa' Bebas dari Pasung : https://ift.tt/2IT26hoBagikan Berita Ini
0 Response to "Impian 'Hampa' Bebas dari Pasung"
Post a Comment