Saya hanya bisa tersenyum geli saat membaca pesan singkat dari teman saya sembari menunggu pengambilan bagasi di Bandara Internasional Ngurah Rai pada akhir bulan Juli kemarin.
Bali memang identik dengan Kuta, kawasan pantai yang semakin ramai dengan turis dari beragam ras. Industri pariwisata di Pulau Dewata bisa dibilang berawal dari sana sejak sejumlah turis Australia menjajal ombaknya untuk belajar surfing pada tahun 1990-an.
Surfer berdatangan, warung pun dibangun, tepatnya di Jalan Poppies, seberang Pantai Kuta. Dari warung sederhana sampai jasa pijat dan kepang rambut, bisnis wisata di Bali berkembang menjadi pertokoan sampai hotel bintang lima. Dan Pantai Kuta menjadi saksi bisu kepopuleran Bali di mata turis dunia.
Namun sama seperti turis muda yang lain, Kuta bukan menjadi tujuan utama saat saya datang ke Bali. Hampir empat hari saya menghabiskan masa liburan di Uluwatu sebelum kembali ke Kuta untuk bermalam sehari dan menunggu penerbangan pagi ke Jakarta.
Uluwatu menjadi destinasi tepat bagi saya yang ingin liburan hanya untuk tidur, makan, berenang, makan dan tidur. Saya memang sedang menghabiskan masa cuti sehingga tak berencana bertemu gerombolan turis yang memadati jalanan seperti di Kuta. Saya butuh Bali yang tenang.
Tapi tulisan ini tak akan bercerita mengenai Uluwatu, melainkan tentang Kuta yang akhirnya berhasil menjadi destinasi pelipur lara saya selama sehari semalam.
Bagi yang bertanya, alasan saya datang ke Bali ialah untuk menghabiskan masa cuti singkat. Saya merasa Bali bisa dinikmati secara mendadak dan tak merepotkan. Ada banyak penerbangan dan hotel yang bisa dipesan seminggu sebelum keberangkatan.
Saya memilih waktu cuti hari Rabu, Kamis, Jumat, Senin dan Selasa. Percaya atau tidak, penerbangan domestik di hari kerja (Selasa sampai Kamis) pada malam hari setelah jam 7 dan pagi hari sebelum jam 7 berharga lebih normal ketimbang waktu lainnya.
Saya memilih penerbangan berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta di hari Rabu pukul 10 malam dan penerbangan pulang dari Bandara Internasional Ngurah Rai Bali di hari Selasa pukul 6 pagi. Saya menggunakan dua maskapai, AirAsia dan Citilink. Total harga tiket yang harus saya bayar Rp1,2 juta, sudah termasuk bagasi 20 kg dan memilih tempat duduk.
Mungkin saya hanya beruntung mendapatkan harga tiket ke Bali senormal itu, tapi bagi karyawan kantoran yang ingin liburan murah mungkin bisa mencoba cara cuti yang saya lakukan.
Saya sempat merasa penerbangan malam bakal membosankan, karena langit terlihat gelap. Saya sudah berpikir untuk membunuh waktu dengan mendengarkan Spotify, membaca Kindle atau tidur. Tapi lagi-lagi saya beruntung. Sesaat sebelum mendarat di Bali dari balik jendela pesawat saya melihat gugusan bintang yang berkelap-kelip di langit!
Sama seperti saya, banyak turis yang bingung mencari tumpangan sesampainya di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali. Bagi yang kurang jago menawar harga seperti saya, rasanya taksi online menjadi pilihan yang tepat. Namun rasa deg-degan muncul, karena teringat kasus gontok-gontokan antara taksi lokal vs taksi online di Bali pada beberapa waktu yang lalu.
Sembari menunggu bagasi saya nekat memesan GrabCar, karena layanan ini paling banyak beroperasi di Bali. Sang supir lalu mengarahkan saya untuk menunggu di Restoran Solaria. Tahun lalu saya menunggu sang supir yang datang dari kegelapan parkiran. Tapi yang membuat saya bingung, kali ini sang supir muncul di bawah sinar lampu tulisan 'Solaria'.
"Bingung ya mbak? Hehehe... Kami memang sudah damai, jadi boleh mengambil penumpang dari titik ini," kata sang supir yang langsung mengemas koper saya ke bagasi mobilnya. Oh baiklah, rasanya hati menjadi lega berarti saya bisa memesan taksi atau ojek online dengan bebas selama berada di Bali.
Empat hari di Uluwatu--yang saya bisa rasakan bagai Bali versi Eropa karena banyaknya turis Eropa di sana, tibalah waktu pulang ke Jakarta. Merasa cukup dengan ketenangan, saya ingin kembali merasakan keramaian. Mengetahui saya sedang berada di Bali, humas Sheraton Bali Kuta Resort mengundang saya untuk menginap semalam di hotelnya. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan, karena penasaran juga dengan Kuta "zaman now".
Keluyuran semalaman di Kuta yang bisa saya rasakan ialah kawasan ini tak kehilangan pamornya, sebagai destinasi yang menyediakan beragam hal murah dan seru.
Berikut ini ialah pengalaman saya melancong selama satu malam di Kuta:
Hari pertama, Minggu 22 Juli 2018
09.00 - Harum lavender dan jeruk
Check-out dari hotel di Uluwatu, tim Sheraton Bali Kuta Resort mengirim mobilnya untuk menjemput saya ke hotelnya. Sesampainya di sana, saya diberitahu bahwa jadwal check-in masih pukul 12 siang, sehingga saya punya banyak waktu menganggur sebelum masuk kamar.
Karena belum sempat menyicipi pijat Bali di Uluwatu, saya memutuskan untuk menyicipi layanan Shine Spa at Sheraton.
Shine Spa at Sheraton memiliki beragam menu, mulai dari pijat kaki dan seluruh tubuh, sampai yang merinci seperti manicure dan facial.
Ruangan spa yang dirancang senyap dan teduh. (Dok. Sheraton Bali Kuta Resort)
|
Saya memilih menu pijat Bali selama 50 menit. Walau terkesan tradisional, namun menu ini tetap disuguhkan dengan konsep yang serius. Sang terapis dengan cermat memijat ujung kaki sampai kepala saya dengan teknik yang sangat profesional, bukan sekedar menekan-nekan kulit. Minyak pijat yang wangi bunga lavender dan buah jeruk semakin membuat saya rileks sampai hampir terlelap.
Tak cuma tamu, ternyata layanan ini juga digemari oleh pengunjung dari luar hotel. Setelah pijat saya mendengar sang terapis berkata bahwa dirinya akan sangat sibuk hingga sore hari karena harus melayani rombongan turis asal China yang sudah memesan layanan dari jauh hari.
12.00 - Makan siang juara
Karena sang terapis menganjurkan agar saya tak makan sebelum pijat, alhasil setelah pijat perut menjadi lapar.
Di hari kedatangan saya (Minggu), ternyata merupakan hari digelarnya Feast Market Brunch, yakni acara makan siang prasmanan ala Sheraton Bali Kuta Resort.
Pilihan menunya mulai dari minum-minum cantik sampai makan besar yang bisa disantap sepuasnya mulai pukul 12 siang sampai 3 sore.
Menu seafood yang disajikan. (Dok. Sheraton Bali Kuta Resort)
|
Untuk minum saja harga yang dibayar mulai dari Rp300 ribu per orang. Yang bisa diminum sepuasnya mulai dari bir, sampanye, sampai premium wine.
Sedangkan untuk makan sekaligus minum harga yang dibayar mulai dari Rp390 ribu per orang. Pilihan makanannya beragam, mulai dari menu Italia sampai menu Bali yang dioleh oleh Executive Head Chef Rossano Renzelli.
Sebelum pulang, tamu masih kesempatan membawa pulang sayur dan buah yang bisa dipilih sesuka hati sebanyak 1 kg sebagai oleh-oleh. Sungguh paket makan siang yang juara seantero Kuta.
Sayur dan buah yang bisa dibawa pulang. (Dok. Sheraton Bali Kuta Resort)
|
13.00 - Menikmati kamar presiden
Masa liburan saya di Bali sebenarnya bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Tak disangka tim Sheraton Bali Kuta Resort memberikan saya kejutan berupa bermalam di kamar tipe Presidential Suite.
Dari namanya saja kamar ini sudah terdengar istimewa: berupa dua lantai yang disambungkan dengan tangga melingkar. Lantai satu berisi kamar tidur, kamar mandi dan balkon dan lantai dua berisi ruang santai, teras, jacuzzi dan ruang makan.
Lantai dua, tempat ruang santai dan teras berada. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
|
Humas Sheraton Bali Kuta Resort berkata bahwa keluarga selebriti Anang dan Ashanti pernah menggunakan kamar ini untuk menggelar acara 'vow renewal'. Selebihnya kamar ini sering digunakan oleh turis keluarga dan turis bulan madu yang ingin liburannya lebih personal.
Untuk menikmati kamar serba luas ini tamu bisa merogoh kocek Rp11 juta per malam.
Di luar kejutan kemewahan yang disuguhkan, yang paling membuat saya terkesan ialah ketika tim Sheraton Bali Kuta Resort memeriahkan kamar saya dengan kue ulang tahun dan sejumlah foto dari grup band kegemaran saya, Sonic Youth dan The Velvet Underground.
14.00 - Belanja produk lokal
Selesai mengagumi kamar sambil menikmati kue ulang tahun yang disajikan, saya melangkahkan kaki untuk mengunjungi Beachwalk, mal yang berada tepat di samping Sheraton Bali Kuta Resort.
Toko-toko yang buka kurang lebih sama dengan Grand Indonesia, namun mal ini memiliki konsep ruang terbuka, sehingga pengunjungnya tetap merasakan matahari dan angin Bali.
Melangkahkan kaki di penjuru lorongnya, terlihat banyak diskon yang dijajakan. Kerumunan turis yang gemar belanja sudah pasti terlihat di sini.
Salah satu teman saya berkata bahwa ada satu toko yang menjual produk lokal berkualitas dan selalu ramai pembeli, yakni Tulisan.
Toko ini milik seniman Melissa Sunjaya yang menjual beragam produk fesyen dan dekorasi rumah berbahan kain yang dilukis.
Produknya bahkan pernah muncul dalam serial drama Korea 'The Spring Day of My Life'.
Untuk produk lokal harganya memang terbilang tak murah, namun dalam sebuah wawancara dengan media Melissa berkata bahwa keuntungannya dialokasikan untuk pemerataan UMR karyawan, aksi kelestarian lingkungan dan pengembangan sosial di Bali.
Jadi sejak tahun 2010 ia membangun usahanya, setiap tahun ada saja kegiatan sosial untuk alam, ibu dan anak di Bali yang disponsori oleh Tulisan.
Bagi yang ingin mendukung langkah tersebut sekaligus mengoleksi produk lokal unik, silakan berbelanja di sini.
15.00 - Nyalon
Saya terbilang perempuan yang jarang ke salon. Karena sudah di Bali, tak ada salahnya memanjakan diri lebih hakiki dengan nyalon di Rob Peetoom.
Rob Peetoom juga memajang daftar harganya di situsnya, sehingga pengunjung yang datang bisa memperkirakan berapa uang yang harus dibayar sebelum menikmati perawatan di sana.
Rob Peetoom merupakan ahli tata rambut dari Belanda yang membuka dua cabangnya di Bali, di Seminyak dan Kuta.
Tersedia juga rangkaian produk perawatan rambut yang bisa dibeli. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
|
Di umur yang baru tak ada salahnya untuk mencoba gaya rambut baru. Jadilah saya memesan menu cuci dan gunting rambut. Sang stylist terbilang cukup komunikatif selama melakukan prosesnya sehingga pelanggan bisa mendapat potongan rambut sesuai keinginannya, bukan hanya perkiraan satu pihak.
Rambut baru belum memuaskan hasrat perempuan saya, sehingga saya kembali memesan menu manicure dan pedicure sekaligus pewarnaan kuku. Mungkin karena tahu saya tipe perempuan yang aktif, sang stylist menyarankan saya untuk mewarnai kuku dengan teknik nail gel yang lebih awet.
Sebelum pulang, sang stylist lagi-lagi "meracuni" saya dengan menu eyebrow waxing. Kemungkinan besar ia gemas ingin merapikan kedua alis saya yang terlihat rimbun. Tak lebih dari setengah jam ia melakukan proses tersebut dan mengembalikan alis saya jadi lebih manusiawi.
Keluar dari salon saya melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia.
17.00 - Sunset dari kamar
Pantai Kuta merupakan pantai yang menjadi destinasi terbaik untuk melihat matahari tenggelam.
Karena saya bermalam di Presidential Suite, jadilah saya punya kekuasaan untuk menikmati sunset dari teras kamar yang langsung menghadap ke Pantai Kuta.
Teras kamar tempat menyaksikan sunset. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
|
19.00 - Jelajah Poppies
Jalan Poppies tepat berada di sebelah Sheraton Bali Kuta Resort. Jalan itu dipenuhi oleh penjual oleh-oleh, minimarket, tempat makan dan hostel murah. Hingga malam hari jalanan itu masih saja ramai.
Saya melangkahkan kaki berpatokan dengan Google yang memperlihatkan ada beberapa tempat seru yang bisa didatangi.
Nebula dan Warung Indonesia merupakan dua restoran yang paling sering didatangi, karena suasananya dan harga terjangkaunya. Namun karena perut sudah kenyang, saya mencari tempat kongko untuk sekadar santai minum kopi atau cocktail.
Sampailah saya di kafe bernama Crumb & Coaster. Kafe ini berdekorasi campuran industrial minimalis yang enak dipandang. Saya langsung terpikir pasti banyak anak muda yang berfoto di sini.
Dekorasi ruangan yang Instagram-able. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
|
Saya memesan cocktail bernama Devil Lime untuk menyegarkan tenggorokan. Minuman ini merupakan campuran dari jeruk nipis, lemon, dan vodka. Seharga Rp70 ribu per gelas, saya bisa duduk manis sambil menikmati pemandangan Jalan Poppies di kafe ini.
Penampakan Devil Lime. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
|
Crumb & Coaster buka dari pukul 7 pagi sampai 11 malam. Bagi yang bilang kalau Kuta tak punya tempat kongko bernuansa kekinian, silakan datang untuk sarapan atau makan malam di sini.
20.00 - Johnny Tacos
Beberapa teman yang ada di Bali mengajak saya untuk datang ke bar dan kelab malam Lxxy yang berada di Legian. Tapi malam yang dimaksud belum tiba, sehingga saya memutuskan untuk mendatangi Johnny Tacos, restoran kecil di dalam gang yang masih berlokasi di kawasan Kuta.
Johnny Tacos merupakan pembuktian atas rasa penasaran saya akan rekomendasi TripAdvisor. Ada salah satu pengguna yang mengatakan kalau rasa taco di sini cukup otentik dengan harga yang terjangkau. Sebagai turis yang datang sebatangkara saya ingin membuktikan bahwa ulasan itu benar adanya.
Karena sebagian besar jalanan di Bali dirancang satu arah, jarak tempuh ojek online dari hotel ke sana lumayan panjang sekitar 25 menit.
Perjalanan tak sia-sia, karena ternyata Johnny Tacos membuat saya bahagia. Bagaimana tidak, dengan merogoh kocek Rp100 ribu saya bisa menikmati dua taco daging babi dengan rasa enak yang bisa dinikmati lidah orang Indonesia dan sebotol kecil bir Bintang.
Suasana ramai berpadu dengan keramahan pelayan membuat santapan malam sederhana di sana terasa menyenangkan.
Saya mungkin datang terlalu malam karena menu margarita yang ingin saya pesan sudah habis. Tak apa, yang penting saya bisa membuktikan bahwa jadi turis sebatangkara juga bisa bahagia.
22.00 - Pesta
Ada banyak kelab malam di Bali, tinggal dipilih sesuai pemandangan pengunjungnya atau jenis musiknya.
Jenja, La Favela, Mirror dan Oldmans menjadi tiga kelab malam yang sering dikunjungi pengunjung dalam kategori anak muda Jakarta, meski pengunjungnya juga kebanyakan ekspatriat.
Jarang pengunjung kategori anak muda Jakarta yang menyambangi kelab malam di kawasan Legian, karena menganggap hiburan malam di sana telalu ramai.
Kelab malam Lxxy mencoba mengubah persepsi tersebut. Selain lantai dansa, dalam bangunan tiga lantainya terdapat juga restoran dan lounge dengan nuansa eksklusif yang mirip dengan yang ditawarkan kelab malam di Jakarta Selatan.
Acara musik elektronik yang digelar pun tak sekadar berisik karena sejumlah DJ internasional pernah tampil di sini seperti Kungs, Danny Avilla, dan Bondax.
Malam itu saya habiskan dengan kongko di sudut bar Lxxy sambil menyaksikan orang-orang berdansa disiram tata cahaya dan suara yang megah.
Hari kedua, Senin 23 Juli 2018
12.00 - Makan siang Italia
Tak terasa waktu check-out sudah hampir tiba. Setelah mengemas barang bawaan dan menaruhnya di lobi, saya beranjak menuju Bene, restoran bertema Italia yang masih berada dalam komplek Sheraton Bali Kuta Resort.
Di restoran ini saya memesan sejumlah menu yang menurut saya jarang dicicipi; Insalata di mare, Pizza hai Quattro formaggi, Bucatini alla matrigiana, dan Risotto hai funghi e zucchini.
Insalata di mare. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa)
|
Menu favorit saya ialah Insalata di mare yang berupa salad seafood dan Pizza hai Quattro formaggi yang berupa pizza tipis kering dengan campuran empat keju yang gurih.
Untuk minumannya saya memesan Italian White Sangria yang berupa campuran white wine, rum Captain Morgan, plus daun oregano dan basil yang disajikan dingin.
Bagian atas restoran Bene. (Dok. Sheraton Bali Kuta Resort)
|
Restoran ini berpemandangan langsung ke Pantai Kuta, sehingga bagi pasangan mungkin waktu makan malam bakal sangat romantis.
Usai tegukan sangria yang terakhir, berarti berakhir sudah pengalaman saya keluyuran sehari semalam Kuta hari itu.
(ard)
Baca Kelanjutan Seharian Keluyuran di Kuta : https://ift.tt/2M9yZLFBagikan Berita Ini
0 Response to "Seharian Keluyuran di Kuta"
Post a Comment