Belajar dari kasus itu, pemerintah negeri sakura itu kini sedang merencanakan sebuah regulasi yang memaksa para pekerja untuk mengambil jatah libur berbayarnya alias cuti.
Bagi jutaan karyawan Jepang, berada di rumah tepat waktu untuk santap malam dapat 'mengundang tuduhan' ketidaksetiaan terhadap perusahaannya. Selama ini, anggapan tersebut membuat mereka memikirikan kembali keinginannya untuk pulang setelah delapan jam berada di kantor.
Selama ini para pekerja Jepang berhak atas jatah 18,5 hari per tahun untuk jatah liburan berbayarnya. Namun pada kenyataannya, menurut keterangan Kementerian Tenaga Kerja Jepang, beberapa dari mereka hanya memanfaatkan sembilan hari cuti saja.
Setelah disahkannya undang-undang tersebut, pemerintah pun berharap agar karyawan dapat mencontoh para pekerja Inggris yang menggunakan rata-rata 20 hari cuti tahunan berbayarnya. Serta para pekerja Perancis yang memanfaatkan 25 hari cuti.
Budaya kerja Jepang yang tak kenal ampun mungkin telah membuat negara ini menjadi adikuasa dalam bidang ekonomi. Para pekerja pun dihormati di seluruh dunia atas komitmen mereka terhadap perusahaan, tetapi hal ini sering kali membuat para pekerja mengesampingkan kebutuhan lainnya, termasuk kebutuhan berlibur, sosialisasi, dan juga keluarga.
Tak cuma itu, komitmen pekerja Jepang yang tinggi ini juga berimbas pada rendahnya angka kelahiran di Jepang serta penurunan angka populasi yang cepat karena banyak orang yang tidak bergegas menikah di usia yang cukup.
Selain itu lebih banyak karyawan jatuh sakit karena stres, atau yang lebih buruk, dan mengalami karoshi.
Menurut data yang dikumpulkan oleh pemerintah Jepang, sekitar 22 persen orang Jepang bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Angka tersebut tergolong tinggi jika dibandingkan dengan AS sebanyak 16 persen serta 11 persen di Perancis dan Jerman, Sedangkan di Korea Selatan jumlahnya lebih buruk yakni 35 persen.
Enggan pakai cuti
Erika Sekiguchi adalah contoh pekerja yang ekstrem. Dia sudah menghabiskan 14 jam sehari di tempat kerja. Selain itu, pegawai berusia 36 tahun itu hanya menggunakan delapan dari 20 hari libur berbayarnya tahun lalu, sementara enam di antaranya dihitung sebagai cuti sakit.
"Tidak ada orang lain yang menggunakan hari libur mereka," kata Sekiguchi, dikutip dari The Guardian.
Ia mengaku mengalami dilema karena keputusannya untuk mengambil cuti berisiko mengundang kritik. Hal tersebut dikarenakan Sekiquchi harus meninggalkan rekan-rekannya yang dianggap memiliki komitmen lebih untuk perusahaan.
Namun kini ketakutan akan perilaku dikucilkan di tempat kerja adalah anggapan yang salah karena dapat meningkatkan penyakit terkait stres, kematian dini, dan bunuh diri. Menurut data resmi, sekitar 200 orang meninggal setiap tahun karena serangan jantung, stroke, dan peristiwa karoshi lainnya akibat hukuman jam kerja.
Sementara itu pada 2014, sebuah pengadilan di Tokyo menyuruh restoran untuk membayar kompensasi 58 juta yen kepada keluarga mantan manajer salah satu outletnya yang gantung diri pada 2010.
Dokumen pengadilan menunjukkan bahwa pria itu telah bekerja hampir 200 jam per bulan dalam kurun waktu tujuh bulan sebelum kematiannya. Hal itu dinilai sebagai suatu bentuk "pelecehan kekuasaan" oleh hakim karena meninggalkan korban sakit mental.
(bel/chs)
Baca Kelanjutan Karoshi Meningkat, Pemerintah Jepang Paksa Pekerja Pakai Cuti : https://ift.tt/2mgrrahBagikan Berita Ini
0 Response to "Karoshi Meningkat, Pemerintah Jepang Paksa Pekerja Pakai Cuti"
Post a Comment