Namun dalam penerapannya, kurikulum dengan pendidikan berkarakter itu tak serta merta dapat diterapkan dengan mudah dalam sistem pendidikan Indonesia. Staf Ahli Bidang Penguatan Pendidikan Berkarakter Kemendikbud Arie Budhiman mengaku banyak guru kesulitan mengimplementasikan pendidikan berkarakter di sekolah.
"Banyak guru yang menganggap pendidikan berkarakter itu sesuatu yang baru dan sudah parno duluan sebelum dijalankan. Padahal dengan mengembangkan kearifan lokal, muncul perubahan perilaku yang signifikan asal terus menerus dilakukan dengan telaten," kata Arie dalam temu media bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) memeringati Hari Pendidikan Nasional Jakarta, Kamis (3/5).
Agar para guru tak lagi kesulitan menerapkan pendidikan berkarakter, Kemdikbud menggandeng WVI membuat panduan penerapan penguatan pendidikan berkarakter yang bakal diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Nantinya, panduan itu bakal memberikan penguatan pendidikan berkarakter sesuai kontekstual yang ada di masing-masing daerah.
"Kami sedang membuat perangkat panduan praktis, dalam 2-3 bulan lagi diharapkan sudah bisa dipakai oleh tim fasilitator di 34 provinsi di Indonesia," kata Koordinator Program Pendidikan WVI Nurman Siagian.
Nurman menjelaskan pendidikan berkarakter kontekstual merupakan pembelajaran yang memberdayakan dan membangun kesadaran kritis pada anak didasarkan pada kearifan dan potensi lokal dalam menyiapkan anak untuk hidup utuh.
Pendidikan berkarakter kontekstual itu bakal diambil dari budaya setempat. Situasi dan kondisi serta budaya di masyarakat akan dimasukkan dalam setiap sistem pembelajaran di sekolah.
"Bukan diambil dari luar, tapi dari dalam. Tujuan yang diharapkan dari yang sekarang, lingkungan dan sekolah seakan terpisah, nantinya Kehidupan sekitar dapat menjadi sekolah bagi anak-anak," ucap Nurman.
Panduan pendidikan berkarakter kontekstual itu akan berisi cara menerapkan pelajaran berupa teori dan metodologi untuk semua pihak mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas, hingga kepala dinas. Meski melibatkan banyak pihak, Nurman menyebut peran utama pendidikan berkarakter kontekstual ini ada pada guru.
"Guru memegang peranan paling penting karena berinteraksi langsung dengan anak," ujar Nurman.
Nurman mengatakan WVI sudah menerapkan pendidikan berkarakter kontekstual pada beberapa daerah di Indonesia. Pendidikan berkarakter itu diberi nama sesuai dengan situasi dan budaya setempat.
Pendidikan berkarakter kontekstual di Sambas, Kalimantan Barat misalnya diberi nama Sekolah Hijau demi menumbuhkan cinta pada lingkungan lantaran di sana banyak terjadi pembakaran hutan dan lahan.
Lain lagi dengan di Poso, Sulawesi Tengah yang menggunakan pendidikan berkarakter harmoni. Tujuannya, untuk menumbuhkan harmoni dengan diri, teman, alam, dan Tuhan pascakonflik.
Walau menggunakan pendekatan yang berbeda, Nurman menyatakan pendidikan ini membuahkan hasil yang baik.
"Sangat beragam konteksnya dan tidak sama caranya. Tapi, hasil dan karakter yang terbangun mulai dari transformasi guru, siswa dan masyarakat, sama," kata Nurman.
Perubahan pada guru diantaranya lebih antusias dan kreatif, serta tidak stres dalam menangani siswa. Sedangkan, pada anak terlihat perubahan kemampuan dalam mengontrol diri dan lebih bertanggung jawab. (rah)
Baca Kelanjutan Mengungkap Persoalan di Balik Gagalnya Pendidikan Berkarakter : https://ift.tt/2HKMz5OBagikan Berita Ini
0 Response to "Mengungkap Persoalan di Balik Gagalnya Pendidikan Berkarakter"
Post a Comment