Namun, di balik parasnya, Jessica ternyata didiagnosis menderita penyakit langka Phenylketonuria (PKU) sejak usia satu tahun. Penyakit ini membuat tubuh tak bisa menyerap protein. Sejak kecil, Jessica berjuang hidup bersama PKU yang diidapnya.
Ketika lahir, Pemilik nama lengkap Jessica Beatrice Ranti itu tak jauh berbeda seperti kebanyakan bayi pada umumnya. Dia lahir dalam kondisi normal melalui proses caesar. Hanya berat badannya saja sebesar 2,4 kg, kurang dari batas normal 2,5 kg. Skor Apgar Jessica pun dinyatakan normal. Dokter menyebut tak ada kelainan apapun pada tubuh Jessica.
Namun, sepulang dari rumah sakit pada November 1993 itu, Jessica banyak menangis. Ibu Jessica, Inge Pattiwael menyebut Jessica sulit minum ASI. Bahkan saat susu formula dari dokter diberikan lewat botol, Jessica juga tak punya daya hisap.
Inge tetap berusaha mencari nutrisi untuk Jessica dengan menyuapkan susu menggunakan sendok.
"Tapi setiap dikasih susu dia mencret terus. Pihak rumah sakit juga tidak sadar," tutur Inge saat berkisah tentang penyakit Jessica beberapa waktu lalu.
Keanehan semakin terlihat saat Jessica berusia 3 bulan. Perkembangan Jessica justru semakin mundur. Dari yang awalnya bisa berpindah-pindah di kasur, menjadi banyak diam dan selalu tertidur. Normalnya, pada usia 3 bulan anak sudah dapat bolak-balik di tempat tidur dan waktu tidur semakin berkurang.
Jessica juga menunjukkan gejala lain seperti napas yang berbunyi serupa orang sesak napas.
Inge dan suaminya Hocky Ranti lalu membawa Jessica ke banyak dokter di Jakarta. Sayangnya, tak ada satupun dokter yang bisa memberikan diagnosis yang meyakinkan.
Seorang dokter menyebut Jessica memiliki kelainan kerongkongan, dokter lain di RSCM menyatakan Jessica diserang virus. Diam-diam, Inge mengujikan Jessica ke laboratorium dan tak ada virus yang terdeteksi.
Kondisi Jessica semakin memburuk, dia bahkan divonis dokter tak bisa mendengar, melihat dan berjalan.
Ketika Jessica berusia satu tahun, Inge lalu memutuskan membawa anak semata wayangnya ke Belanda. Adik Inge yang merupakan seorang dokter di Belanda menyarankan agar Jessica dirawat di sana karena alat dan pengobatan yang lebih maju.
Berbagai dokter dan bermacam tes diikuti Jessica demi mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat. Untuk mengikuti tes saja, Inge dan Hocky merogek kocek Rp2 miliar.
Akan tetapi, berbulan-bulan di Belanda, penyakit Jessica belum menemukan titik terang. Berbagai tes menemukan kondisi Jessica normal. Namun, Inge bersikeras anaknya mengalami kelainan. Dia tetap gigih mencari dokter dan perawatan, bahkan sampai diusir dari Negeri Kincir Angin itu.
"Kami sudah hampir diusir pulang sama dokter karena dia pikir pasien dari indonesia ini memberatkan Belanda. Takut enggak bisa bayar jadi kami diusir pulang. Tapi saya sebagai ibu tidak menyerah," tutur Inge.
Saat mulai membereskan barang kembali ke Indonesia, Inge mendapatkan informasi dari seorang dokter yang menyebut terdapat satu hasil yang tidak normal yaitu kandungan phenylalanine di air kencing Jessica tinggi.
Penyakit itu di Belanda dikenal dengan PKU. Namun, dokter menyebut kasus Jessica tak bisa ditangani karena sudah terlambat dan telah mengalami kerusakan otak.
Jessica di peringatan Hari Penyakit Langka di Jakarta. (Foto: CNN Indonesia/Puput Tripeni Juniman)
|
"Mereka bilang percuma, sudah terlambat. Karena biasanya anak yang lahir seperti ini, di Belanda langsung dirawat sehari setelah lahir sehingga tidak mengalami kerusakan otak. Jessica sudah satu tahun dan dokter bilang tidak bakal ada perkembangan. Saya hampir gila," ucap Inge.
Inge lalu meminta untuk bertemu dengan dokter ahli gizi untuk mencari tahu makanan yang cocok dengan kondisi Jessica. Dokter itu lalu menyerankan Inge untuk pergi ke Utrecht. Inge pun menurut.
Inge bertemu dengan dokter ahli metabolik yang sebenarnya merupakan orang Indonesia namun sudah berpindah kewarganeraan Belanda. Dokter itu begitu yakin memberikan obat dan terapi kepada Jessica.
"Belum ada dokter sebegitu yakin seperti dokter ini. Lalu diterapi dan diberi obat dosis rendah. Selama dua minggu progresnya luar biasa," kata Inge.
Jessica yang sebelumnya tak ada kontak mata, mulai bisa melihat dan gerakannya lebih leluasa meskipun tak secepat anak normal. Jessica baru bisa berjalan saat berusia 6 tahun dan berbicara selang satu tahun kemudian.
Sejak dari Belanda, Jessica tak pernah berhenti mengonsumsi tiga jenis obat berupa enzim yang memecah protein dalam tubuh.
Obat itu didapat dengan susah payah. Setiap bulannya Inge dan Hocky mesti mengeluarkan biaya sekitar Rp5-7 juta dibantu oleh donasi dan mendapatkan harga khusus dari produsen. Obat itu tak tersedia di Indonesia dan mesti diimpor dari Malaysia, Eropa, dan Amerika.
"Selama ini saya mencari ke Malaysia, yang lucunya pabrik obat itu ada di Pasuruan, Jawa Timur. Mereka jual ke Malaysia tidak dijual di Indonesia. Harganya berbeda-beda pernah yang dari Eropa sampai 30 juta satu botol," ujar Inge.
Jessica rutin meminum obat itu tiga kali sehari, setiap hari. Jika sekali saja lupa, protein dapat mengendap dan makanan tak sampai ke otak. Soal makanan, Jessica hanya tak boleh menyantap aspartam atau gula buatan.
Kini Jessica beraktivitas seperti biasa. Dia baru saja menamatkan sekolah Diploma I jurusan Desain Grafis di universitas swasta di Bandung pada September 2017 lalu.
"Kadang saya beraktivitas sendiri kadang ditemenin mama," ujar Jessica dengan terbata-bata.
Dalam waktu dekat, Jessica dan keluarga berencana pindah ke Kanada untuk mendapatkan perawatan yang lebih komprehensif.
"Di sana penanganannya jauh lebih baik karena ada laboratorium. Di sini walaupun ada dokter, tapi tidak ada laboratorium," kata Inge.
Jessica merupakan satu dari sedikit orang pengidap penyakit langka yang mampu bertahan hidup lewat kegigihan pengobatan. (rah)
Baca Kelanjutan Kisah Jessica Berjuang Melawan Penyakit Langka : http://ift.tt/2HVT3LJBagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Jessica Berjuang Melawan Penyakit Langka"
Post a Comment