Banggai Laut berupa kabupaten seluas 725 ribu kilometer persegi dan berpenduduk 56 ribu jiwa.
Kepopuleran Banggai Laut masih jauh dibandingkan Togean. Oleh karena itu, turis yang pernah ke sini pasti menyebutnya sebagai salah satu surga yang tersembunyi di Indonesia.Perjalanan menuju Banggai Laut saya tempuh melalui penerbangan dari Jakarta menuju Makassar dan dilanjutkan ke Luwuk.
Sudah ada penerbangan ke Luwuk dengan pilihan transit di Palu atau Makassar. Harga tiketnya mulai dari Rp1,2 jutaan per orang sekali jalan. Durasi penerbangannya sekitar sembilan jam, dengan transit sekitar tujuh jam. Dari bandara transit, penerbangan ke Luwuk hanya memakan waktu sekitar satu jam.
Saya berangkat dari Jakarta pukul lima pagi dan sampai Luwuk, tepatnya di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, pukul enam sore.
Dari bandara, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil sewa dengan tarif Rp100 ribu per hari untuk menuju Pelabuhan Rakyat, untuk menumpang kapal yang membawa saya ke Banggai Laut.
Turis yang niat datang ke sini memang harus memiliki kesabaran ekstra, karena pelayaran berlangsung selama sembilan jam. Bisa menggunakan kapal cepat dengan waktu tempuh tiga jam, namun hanya beroperasi hingga siang hari.
Kapal ferry ini berharga tiket Rp100 ribu per orang. Penjual tiket mengatakan kalau estimasi sampai sekitar pukul lima pagi. Karena merasa lelah dalam perjalanan dari Jakarta sampai Luwuk, saya memutuskan untuk memejamkan mata di atas matras yang disusun berderet dalam lambung kapal.
Pagi harinya, saya dan penumpang kapal yang lain dibangunkan karena sudah sampai di Pelabuhan Banggai Laut. Beberapa bentor (becak motor) yang mangkal di sekitar pelabuhan bisa diandalkan untuk menuju hotel. Tarifnya sekitar Rp10 ribu. Tapi, saya menumpang mobil teman untuk menuju rumahnya tempat saya bermalam selama di sana.
Berbicara mengenai penginapan, tak banyak jaringan hotel besar yang beroperasi di sini. Yang menjadi favorit turis ialah Penginapan Batara, dengan tarif per malam mulai dari Rp300 ribuan, sudah termasuk sarapan dan camilan sore.
Setelah sarapan dan beberapa jam memejamkan mata di atas kasur rumah teman, saya diajaknya langsung melakukan kegiatan penyelaman.
Kata teman saya, ada beberapa titik penyelaman yang tersebar di antara kawasan Pantai Banggai Laut sampai Pulau Mbuang Mbuang. Kedua kawasan ini berjarak dua jam perjalanan dengan speed-boat. Kegiatan menyelam saya juga dilakukan bersama beberapa kawan dari Banggawi Cardinal Divers (BCD) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Taman lumut rimbun
Pulau pertama yang kami singgahi ialah Pulau Bandang Besar. Dari Pantai Banggai Laut, jaraknya sekitar 20 menit perjalanan.
Seperti ekspektasi saya, pulau itu tak berpenghuni dan masih sangat lestari. Pasir putih halus berpadu dengan air jernih berkilauan.
Pulau Bandang Besar yang tak berpenghuni. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Teman saya mengatakan, terdapat sekitar 300 pulau di sekitar Banggai Laut dan Banggai Kepulauan, yang rata-rata tidak berpenghuni dengan kondisi jarang tersentuh manusia.
Beragam ikan aneka warna dan taman lumut jenis Foliose lichen menyambut saya yang diving di kedalamannya. Karena jarang disinggahi, ikan yang wara-wiri masih ramai dan taman lumutnya juga masih rimbun.
Jarang disentuh, kecantikan perairan ini masih lestari. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Karena perairannya cenderung tenang, turis awam juga bisa dengan mudah snorkeling di sini, asal membawa peralatan lengkap karena tidak ada jasa penyewaan di sini.
Hingga menjelang sore hari saya dan rombongan menyelam dan bersantai di Pulau Bandang Besar.
Makhluk jabrik nan ngejreng
Hari kedua, saya dan rombongan berencana diving di titik penyelaman Togong Tangga, yang berada di Pulau Toulan.
Pulau Toulan. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Medan bawah lautnya curam serta cukup berarus. Saat disinggahi, saya menemukan rerimbunan bunga karang jenis Gorgonian yang berbentuk seperti kipas.
Kipas di dalam laut. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Kawanan ikan yang wara-wiri di sekitarnya mulai dari kakap, kerapu, sampai barakuda. Ikan karang warna-warni juga ikut menghiasi pemandangan.
Yang menarik saya menemukan Nudibranchia, makhluk laut seukuran jari kelingking yang berambut jabrik dan berwarna ngejreng.
Keliling kota
Sebelum matahari terbenam, saya sudah kembali ke kota. Sore itu saya coba berkeliling sambil melihat-lihat bisnis wisata yang beroperasi. Ternyata memang belum banyak investor yang datang ke sini, karena beberapa tempat usaha masih dimiliki rumahan.
Dari hasil perbincangan dengan teman dan beberapa warga lokal, diketahui kalau rata-rata penduduk Banggai Laut berprofesi sebagai nelayan atau pedagang. Yang punya ijazah tinggi kebanyakan melamar jadi pegawai negeri sipil.
Saya rasa warga Banggai Laut butuh banyak pelatihan bisnis wisata, agar bisa mengembangkan potensi kawasannya dengan lebih baik.
Tak hanya pantai, kawasan ini juga menyimpan puing bangunan sejarah. Saya mengunjungi satu komplek kerajaan yang baru saja dipugar.
Bangunan keraton yang belum lama ini selesai dipugar. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Keraton Banggai, begitu bangunan itu disebut, berdiri di atas bukit yang menghadap ke arah laut.
Puas berfoto di sana, saya diajak mengunjungi kedai kopi yang cukup populer. Awalnya, saya mengira berbentuk warung tradisional. Ternyata, konsepnya cukup hipster untuk ukuran di daerah pelosok seperti Banggai Laut ini.
Meja kasir dan barista menjadi satu, dengan mesin-mesin pembuat kopi yang dipajang bersama biji-biji kopi dari penjuru Indonesia.
Kedai kopi hipster di pelosok Indonesia. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Sambil duduk di atas kursi rotan, saya menyeruput Kopi Susu seharga Rp12 ribu. Yang membuat terkejut, kedai kopi ini juga memutar lagu-lagu dari kawan-kawan saya, seperti Jason Ranti, Sore, sampai Stars & Rabbit.
Saya merasa senang ketika lagu-lagu dari kawan-kawan saya itu mengalun di daerah yang notabene jauh dari Jakarta. Berarti setidaknya pengunjung kedai kopi ini pernah mendengar musik dengan kualitas lirik dan aransemen yang di atas rata-rata.
Setelah kopi tandas, saya menutup malam dengan beristirahat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Makan malam sinar rembulan
Perjalanan hari ketiga adalah menuju Pulau Mbuang Mbuang, yang memiliki banyak objek wisata, seperti Danau Paisubatongan, berupa danau habitat ubur-ubur yang tidak menyengat.
Jalan masuk menuju Danau Paisubatongan. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Lalu ada Bukit Popisi, sebuah bukit dengan pemandangan bebatuan karst di tengah laut biru.
Pemandangan dari atas Bukit Popisi. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Jangan lupa juga mengunjung Taman Kima, berupa perairan yang menjadi tempat budidaya kerang laut.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam menggunakan kapal cepat dari Pantai Banggai Laut, sampailah kami di Pulau Mbuang Mbuang.
Disambut karst di Pulau Mbuang Mbuang. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Pulau ini masih terbilang sepi namun sudah memiliki beberapa penghuni. Warga di sana membuka pintunya untuk turis yang ingin menginap. Hanya saja, belum ada jasa penyewaan alat menyelam untuk mengeksplorasi keindahan bawah lautnya.
Rumah warga yang bisa dijadikan tempat menginap. (Dok. Ricky Surya Virgana)
|
Puas diving, saya dan rombongan bersantai di tepi pantai. Saat sedang asyik bernyanyi lagu ‘Angin Laut’ milik Koes Bersaudara, saya mendengar kalau sang vokalis dan gitaris, Yon Koeswoyo, meninggal dunia.
Saya dan rombongan memutuskan untuk bermalam di Pulau Mbuang Mbuang. Tepat jam 9 malam, aliran listrik dipadamkan. Dengan cahaya lilin dan sinar bulan, kami nikmat menyantap makan malam berupa ikan ndaing, sayur lilin dengan nasi kuning di tepi pantainya.
Semangat DIY
Sepuluh hari di Banggai Laut membuat saya sedikitnya mengetahui keluh-kesah warga lokalnya mandeknya usaha pengembangan industri pariwisata di daerahnya.
Jangankan untuk turis, akses publik untuk penduduknya saja belum cukup terpenuhi. Karena bosan mendapat janji, warga di sana lalu bahu membahu membuat kelompok usaha wisata untuk mengembangkan potensi wisatanya.
Tapi tetap saja, butuh lebih banyak pelatihan agar mereka lebih mantap menjalankannya.
Usaha bahu membahu itu terlihat dari keramahan warga lokalnya memberi informasi kepada turis mengenai tempat penginapan, tempat makan, sampai jasa sewa motor.
Saling menyarankan usaha teman untuk didatangi, menurut saya menjadi semangat do it yourself alias DIY yang ternyata juga berlaku di luar dunia musik.
Olesio angin laut... dan lagu ‘Angin Laut’ dari Koes Bersaudara mengiringi perjalanan saya kembali ke Jakarta.
(rsv/ard)
Baca Kelanjutan 'Olesio' Banggai Laut : http://ift.tt/2DnM3VhBagikan Berita Ini
0 Response to "'Olesio' Banggai Laut"
Post a Comment