Kondisi itu telah lama membuat resah masyarakat Kalash. Mereka menganggap bahwa kedatangan turis bisa mengancam keberadaan tradisi mereka.
Setiap tahunnya, Kalash - kelompok minoritas dengan populasi kurang dari 4.000 orang yang bermukim di beberapa desa terpencil di utara Pakistan - menyambut musim baru dengan berkurban, pembaptisan, dan pernikahan dalam sebuah festival bernama "Joshi".
Saat perayaan dimulai, turis dengan telepon genggam berkamera berdesak-desakan untuk mendekati wanita Kalash, yang pakaian dan hiasan kepalanya terlihat kontras dengan pakaian masyarakat Muslim konservatif di Pakistan.
"Beberapa orang menggunakan kamera mereka seolah-olah mereka sedang berada di kebun binatang," kata pemandu wisata lokal, Iqbal Shah.
Dikenal dengan kulit pucat dan mata berwarna terang mereka, komunitas Kalash telah lama mengklaim hubungan leluhur dengan pasukan Alexander Agung - yang menaklukkan wilayah itu pada abad ke-empat sebelum Masehi.
Mereka menyembah banyak dewa, memiliki tradisi minum alkohol dan boleh menikah dengan orang pilihannya - tidak seperti mayoritas masyarakat di Pakistan yang pernikahannya sering dijodohkan.
Namun wanita Kalash sering menikah di usia remaja. Wanita di sini juga berpendidikan rendah karena mereka hanya diharapkan untuk melakukan ibu rumah tangga di rumah.
Kisah mengenai kehidupan komunitas Kalash yang terkesan berbeda dengan mayoritas masyarakat Pakistan sering dibuat-buat. Konsep bebas dalam kehidupan mereka sering disalah artikan, terutama sejak beberapa tahun terakhir melalui media sosial.
Menjelekkan komunitas
Salah satu video yang dilihat 1,3 juta kali di YouTube menyatakan komunitas Kalash "berhubungan seks secara terbuka" dengan pasangan pilihan mereka "di hadapan suami mereka".
Yang lain menyebut mereka "orang kafir yang cantik", mengatakan "siapa pun dapat pergi dan menikahi gadis mana pun di sana".
"Bagaimana itu bisa benar?" tanya Luke Rehmat, seorang jurnalis Kalash.
"Orang-orang secara sistematis mencoba memfitnah komunitas. Mereka mengarang cerita ... ketika seorang turis datang dengan pola pikir seperti itu, dia berusaha mendapatkan pengalaman yang sama."
Di desa utama Bashurate di Kalash, seorang manajer hotel memperkirakan bahwa sekitar 70 persen turis Pakistan yang mengunjungi tempat itu adalah lelaki muda, yang sering menanyakan ke mana harus "mencari perempuan".
Menurut para turis yang berbicara kepada AFP - yang kebanyakan adalah laki-laki yang bepergian dalam kelompok - minat utama mereka untuk menjelajahi Lembah Kalash adalah mempelajari budaya baru.
Wanita komunitas Kalash. (AAMIR QURESHI / AFP)
|
"Kami ingin menjadi bagian dari festival ini, tetapi itu tidak berarti bahwa kami ingin berbaur dengan perempuan," kata turis Sikander Nawaz Khan Niazi dari Lahore.
Gesekan juga telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Di Bumburate, terpajang spanduk peringatan bahwa pendatang harus meminta izin untuk mengambil foto dan video masyarakat Kalash, terutama kaum perempuan.
"Jika mereka tidak menghormati kami, kami tidak perlu turis," kata Yasir Kalash, wakil presiden asosiasi hotel setempat.
"Jika mereka menghormati ... budaya dan tradisi kami, kami akan menyambut mereka."
Pengaturan industri pariwisata adalah tugas rumit tetapi vital bagi komunitas Kalash, dengan uang dari industri semakin memberikan sumber pendapatan penting bagi masyarakat.
'Kami akan mati'
Kalash - yang pernah mendiami wilayah luas yang membentang dari Himalaya di Kashmir ke Afghanistan utara - sekarang menjadi salah satu minoritas agama terkecil di Pakistan, menurut Akram Hussain, direktur museum lokal.
Sebuah survei terbaru menyebutkan jumlah mereka hanya 3.872, tinggal di tiga lembah terpencil.
"Kami akan mati jika kami tidak didukung," kata Hussain.
Tradisi Kalash, Hussain berpendapat, bisa mahal. Pernikahan dan pemakaman mengharuskan keluarga untuk membunuh lusinan hewan untuk perayaan, membuat mereka berhutang, memaksa mereka untuk menjual tanah dan meninggalkan rumah leluhur mereka.
Kasus-kasus perpindahan paksa ke Islam di kalangan perempuan Kalash juga sering terjadi, sementara peningkatan pariwisata telah mendorong sejumlah masyarakat untuk menghindari tradisi seperti Joshi, menurut beberapa warga yang berbicara kepada AFP.
Yang lain sudah mulai mengenakan kerudung untuk menyembunyikan wajah mereka dari mata orang-orang luar.
"Kami tidak mengenakan kerudung karena ini bukan kebiasaan kami, tetapi beberapa mengenakannya karena orang mengambil gambar dari semua sisi dan itu membuat mereka merasa malu," kata Musarrat Ali, seorang siswa sekolah menengah.
Erosi budaya yang berkelanjutan di tangan pendatang adalah tragis, kata Sayed Gul, seorang arkeolog dari Bumburate.
"Mereka tidak ingin berpartisipasi hanya karena kamera-kamera ini dan ketidakpekaan ini," kata Gul.
"Jika hal-hal ini terus terjadi ... mungkin dalam beberapa tahun, hanya ada turis, tidak ada lagi warga Kalash untuk berpartisipasi dan menari di festival."
[Gambas:Video CNN]
(ard)
Baca Kelanjutan Menyelamatkan Tradisi Kalash dari 'Terkaman' Kamera Turis : http://bit.ly/31hXKcpBagikan Berita Ini
0 Response to "Menyelamatkan Tradisi Kalash dari 'Terkaman' Kamera Turis"
Post a Comment