Berjalan bersama sebuah misteri sejauh apa yang kamu mampu.
Dan ketika berakhir, itu mengagumkan!
Karena... kau tau kenapa mengagumkan?
Karena kau berada di sana sesuai jalur dan tepat waktu,"
~ Steve Addington
Barangkali salah satu hal yang menjerumuskan saya untuk menjajal kegiatan berselancar atau surfing adalah film berjudul 'Surfer, Dude' dengan tokoh utamanya bernama Steve Addington.
Steve Addington adalah seorang peselancar atau surfer legendaris dunia yang diperankan oleh salah satu bintang kenamaan Hollywood, Matthew McConaughey.
Dalam film itu ia berperan sebagai seorang peselancar legendaris asal Malibu yang sangat santai, sedikit slengekan, polos namun tetap memiliki prinsip hidup yang jelas sebagai seorang surfer.
Addington memiliki seorang manajer bernama Jack Mayweather (diperankan oleh aktor Woody Harrelson), yang menjaga agar idealisme dan realita sang bintang surfing itu tetap seimbang.
Berangkat dari film itu, hasrat untuk menjajal olahraga ekstrim ini semakin menggebu. Setelah mencari tahu tentang apa itu surfing beserta lokasi-lokasinya, akhirnya beberapa tahun kemudian pencarian saya bermuara kepada sebuah daerah di Kabupaten Sukabumi bernama Cimaja.
Sebenarnya nama Cimaja pertama kali saya dengar pada tahun 2009, lewat sebuah film dokumenter berjudul 'Mengejar Ombak'. Film itu menceritakan perjalanan seorang surfer asli Cimaja bernama Dede Suryana.
Dalam film tersebut, Dede disebut memiliki potensi 'magis' untuk menjadi seorang surfer kelas dunia. Dan benar saja, Dede bertransformasi menjadi surfer profesional kelas dunia yang menginsipirasi surfer muda di daerahnya hingga saat ini.
Namun Dede bukanlah generasi pertama surfer di Cimaja atau daerah sekitar Teluk Pelabuhan Ratu.
Nyaris dua dekade sebelum dirinya memulai surfing, beberapa anak muda yang agak 'sembrono' menenteng kayu-kayu bekas bagian kapal untuk dinaiki. Dari sanalah surfing mulai menarik minat anak muda di Cimaja dan sekitarnya.
Dede Suryana, seorang peselancar profesional yang berasal dari Cimaja. (Foto: Courtesy of HYD Bule)
|
Awal mula
Sore itu, Jumat (27/7), ombak Pantai Cimaja sedang cukup ramah untuk surfing, terlihat empat orang surfer sedang berusaha menunggangi ombak. Biasanya para surfer mengunjungi Pantai Cimaja pada pagi hari sejak pukul 6-10 WIB, kemudian akan dilanjutkan lagi sore hari pukul 15-18 WIB.
Sekitar 20 menit saya berdiri melihat para surfer itu meliuk-liuk, seorang surfer warga negara asing menyudahi permainannya untuk bersantai di tepi pantai berbatu, sembari mengenaskan dahaga dan mengatur nafas.
Pria itu bernama Cameron. Ia datang dari Liverpool, Inggris dan sudah berada di Cimaja selama dua pekan. Rencananya ia akan berada di tempat ini hingga tiga pekan ke depan.
Ia mendengar nama Cimaja dari rekan-rekan komunitas surfingnya, karena menurut mereka ombak di Cimaja tidak mengenal musim.
Cimaja menawarkan ombak sepanjang tahun, berbeda dengan beberapa tempat. Lima tahun yang lalu ia pertama kali datang untuk membuktikannya dan ketagihan hingga saat ini.
Cameron mengaku merasa senang berada di Cimaja karena orang-orangnya yang ramah, banyak tempat untuk menghabiskan waktu dan bertemu dengan teman baru.
Meski sepekan yang lalu kondisi ombaknya tidak menentu akibat gelombang tinggi yang datang tanpa pemberitahuan, ditambah gempa yang rajin berkunjung sampai enam kali dalam sehari, pria berusia 32 tahun itu tidak merasa jera.
"Saya merasa itu semacam sambutan untuk saya. Mungkin Cimaja hendak menguji mental saya," ujarnya sembari bercanda.
Melihat beberapa surfer asing ramai mengejar ombak, saya merasa sedikit gembira. Karena ini berarti Pantai Cimaja mulai membuka diri untuk dikunjungi.
Selepas azan Isya berkumandang, saya mengarahkan kendaraan menuju sebuah warung di Pantai Sunset, tidak jauh dari Cimaja. Saya sudah berjanji dengan seorang teman, yang bisa dikatakan sesepuh surfing di Cimaja, untuk sekadar berbincang-bincang sembari makan malam.
Namanya adalah Diki Zulfikar. Pria yang usianya nyaris kepala lima ini masih memiliki postur tubuh yang tegap. Lengkap dengan otot-otot yang kencang.
Mengingat aktivitas di masa mudanya, tak heran jika tubuh Diki masih terjaga. Pria yang saat ini sibuk 'mengasuh' Sukabumi Surfing Association (SSA), Persatuan Selancar Ombak Indonesia (PSOI), serta sesekali menjadi surfing guide bagi warga negara asing, ini pernah menjadi atlet selancar angin.
Sembari menunggu pesanan tiba, Diki bercerita tentang awal mula surfing di Cimaja. Menurutnya surfing masuk ke Cimaja pada akhir tahun 1970-an, namun warga lokal sekitar baru berani menekuninya pada pertngah 1980-an.
Ia dan beberapa temannya, termasuk kakak dari Dede Suryana yang bernama Edin, mencoba kegiatan surfing di tahun 1985. Sebagai langkah awal, mereka hanya berbekal patahan kayu sisa kapal nelayan yang sudah tidak dipakai.
Para surfer sedang menanti giliran untuk menaiki ombak. (Foto: CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
|
"Tahun itu pasti diomelin kalau lewat sawah orang sambil menenteng papan. Tapi ya namanya anak-anak, dilarang malah kayak disuruh. Terus kami juga masih gak berani tuh ke laut, surfingnya masih di kali deket Cimaja," ujar Diki sembari tertawa.
Pada tahun tersebut, Diki menambahkan, sudah mulai banyak wisatawan mancanegara yang berdatangan ke cimaja. Banyak rumah-rumah penduduk yang juga mulai dipakai untuk tempat istirahat sampai menginap.
Sebelum penginapan berkembang dengan pesat seperti saat ini, di Cimaja hanya ada sebuah rumah milik Pak Utom yang disewakan untuk tempat menginap. Sedangkan jika ingin makan, satu-satunya warung makan sederhana saat itu hanyalah Sari Raos.
Sejak ombak ramai ditunggangi, saat itulah nadi pariwisata bahari di Cimaja mulai berdenyut. Perekonomian mulai berkembang sedikit demi sedikit, dan bahasa Inggris tak bisa ditolak sebagai jembatan penghubung antara warga lokal dan turis asing.
"Dulu mah bahasanya sekenanya aja, pelajaran bahasa Inggris di sekolah juga sedikit banget. Tapi ya nekat aja. Kadang-kadang diajarin bahasa jorok, biar tau kalau kalau itu gak boleh dipakai sembarangan," ujar Diki sembari terbahak mengenang masa kecilnya.
"Waktu itu turis masih suka nyampur sama kita, suka main bola bareng, makan-makan, dan lainnya."
Industri, Pengabdian, dan Ancamannya
Jika Diki fokus melayani orang-orang lewat organisasi dan menjadi surfing guide, maka Edin memilih jalur reparasi papan selancar atau ding repair, sebagai jalan hidup untuk melayani siapa saja yang berkunjung ke Cimaja atas nama berselancar.
Meskipun penginapan, rumah makan, surfing guide, hingga ding repair sudah tersedia di Cimaja dan memberikan dampak ekonomi yang baik bagi warga sekitar, namun Cimaja belum ideal untuk dikategorikan sebagai destinasi yang industri berselancarnya maju.
Pasalnya kontes surfing yang diselenggarakan di tempat ini belum rutin, baik itu skala lokal, nasional, dan internasional. Satu-satunya daerah di Indonesia yang industri berselancarnya sudah sedemikian berkembang adalah Bali.
Layaknya masalah usang di Indonesia terkait dukungan dari pemerintah, Cimaja pun masih mengalami hal yang sama. Walau saat ini surfing sudah agak diperhatikan, namun pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi tidak menyediakan anggaran khusus untuk mengembangkan surfing.
Kontur pantai Cimaja yang berbatu ditambah gelombang tinggi, membuatnya tidak cocok untuk seorang peselancar pemula. (Foto: CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
|
"Kami memohon maaf jika dirasa kurang maksimal, karena pengetahuan kami yang kurang untuk memahami itu. Untuk itu kami perlu masukan dan dukungan dari masyarakat," ujar Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sukabumi, Dana Budiman, saat ditemui di kantor Geopark Information Center, Senin (30/7).
Namun hal yang menjadi ancaman sesungguhnya bagi surfing adalah persoalan kesadaran tentang kebersihan. Tabiat membuang sampah sembarangan adalah bom waktu yang mengancam surfing dan pariwisata secara luas.
Menurut Diki pemerintah harus mulai memikirkan cara untuk menangani masalah sampah. Tentang penanganan sampah yang baik, Diki mengatakan, sosialisai ke masyarakat secara menyeluruh adalah salah satu caranya.
"Kenapa orang buang sampah itu enteng banget? Kalau Lebaran dan Tahun Baru di Cisolok dan Pajagan itu sampahnya gila," ujar Diki.
"Sebenarnya ombak itu kan menghasilkan devisa. Di negara lain pada bikin ombak buatan buat mendatangkan wisatawan yang hobi surfing, kok di Indonesia malah dirusak? Padahal kita mau narik wisatawan. Wisatawan surfing itu kalau tinggal minimal seminggu, ada yang sampai bulanan. Mereka pasti regular, balik lagi dan pengeluarannya tidak sedikit."
(ard)
Baca Kelanjutan Menunggangi 'Gelombang Takdir' di Cimaja : https://ift.tt/2ASM5HZBagikan Berita Ini
0 Response to "Menunggangi 'Gelombang Takdir' di Cimaja"
Post a Comment