Saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sana selama empat hari atas undangan dari Anantara Golden Triangle Elephant Camp & Resort, Chiang Rai, Thailand, pada akhir pekan kemarin.
Sebagai informasi, Chiang Rai merupakan salah satu jalur perdagangan opium pada tahun 1950-an. Bersama Myanmar dan Laos, kawasan Golden Triangle yang dibelah Sungai Ruak dan Sungai Mekong menjadi saksi bisu tumpah darah di sana. Kawasan pegunungan ini tak lagi suram, semenjak opium dilarang perdagangannya pada tahun 1970-an.Hingga hari kedua menjelajah di kamp gajahnya, saya baru berkesempatan bertemu dengan John pada jamuan makan malam bermenu Italia. Usai menyantap salad, pasta, dan steak, kami berbincang hangat, mulai dari kehidupan di Chiang Rai sampai kamp gajah yang dikelolanya sejak tahun 2003.
Saya melontarkan pernyataan, bahwa sepertinya tiga dekade mendatang generasi muda hanya akan bisa melihat kawanan gajah liar melalui teknologi VR, karena gajah akan mengalami kepunahan di dunia.
Dari data WWF yang saya kutip, tahun ini hanya tersisa 415 ribuan ekor gajah liar di Afrika dan 40 ribuan ekor gajah di Asia. Sisanya dimiliki oleh perorangan, yang belum tentu diperlakukan secara layak.
Tapi John memberikan jawaban yang membuat saya terkesan, “Saya percaya bahwa tiga dekade lagi saya masih bisa melihat gajah asli di alam liar. Itu semua tergantung dengan cara manusia hari ini hidup berdampingan dengan mereka.”
Hingga akhir makan malam, saya menilai bahwa bapak beranak dua itu memang orang yang optimis. Tentu saja dibutuhkan rasa optimis yang luar biasa dalam merawat kamp gajah yang bersebelahan dengan komplek resor mewah Anatara ini.
“Banyak orang yang mengatakan kalau cara yang kami lakukan salah, kami menampung gajah untuk berinteraksi dengan tamu. Di sini tamu boleh menaiki gajah, sementara banyak kelompok perlindungan hewan yang melarang kegiatan tersebut. Sebagai “pembelaan” saya hanya mengatakan kepada mereka: inilah cara kami untuk mengenalkan kepada manusia bahwa ada makhluk hidup yang juga harus disayangi,” kata John sebelum menutup perbincangannya dengan saya malam itu.
|
Tak hanya John, belasan karyawan kamp gajah dan puluhan penjaga gajah—disebut mahout, juga memiliki keyakinan yang sama, bahwa gajah dan manusia bisa hidup berdampingan tanpa harus saling membunuh. Atmosfer tersebut saya rasakan saat menjalani kegiatan bersama gajah keesokan harinya, masih di dalam komplek Anantara Golden Triangle Elephant Camp & Resort.
Nisa, salah satu karyawan kamp gajah yang hadir dalam kegiatan mengenal gajah yang menjadi paket wisata dari Anantara Golden Triangle Elephant Camp & Resort berulang kali mengatakan hal tersebut.
Usai memberikan kelas singkat mengenai asal usul gajah di salah satu kandang, ia meluangkan waktunya kepada saya yang penasaran dengan konsep kamp gajah versi Anantara. Karena jarang sekali ada pebisnis yang mau mengorbankan lahan dan uangnya untuk hal-hal “berperikehewanan” seperti ini.
“Pemilik jaringan hotel ini (William E. Heinecke) sangat menyukai alam. Anda bisa lihat dari caranya membangun hotel di tengah hutan ini. Lalu ia berpikir untuk menyumbangkan sebagian keuntungannya bagi alam dan masyarakat sekitar. Kamp gajah ini merupakan perwujudannya,” kata Nisa, yang juga mengatakan kalau Anantara memiliki kamp penampungan dugong.
Tak hanya menyisihkan uang, sang pemilik juga ingin agar gajah yang ditampung benar-benar diperlakukan dengan baik. Gajah tidak boleh dirantai dengan ketat, gajah tidak boleh dicambuk dengan keras, serta gajah harus makan tidur dengan teratur.
“Tamu kami boleh menunggangi gajah, tapi hanya satu orang per satu gajah, dengan jarak yang pendek. Selebihnya, kami membiarkan gajah berkeliaran di hutan dengan bebas. Tamu yang masih ingin berinteraksi bisa datang di jam makan atau jam mandi,” ujar Nisa.
|
Kepemilikan atas gajah merupakan hal biasa di Thailand sejak 4.000 tahun yang lalu. Nisa mengatakan ada 15 ribuan ekor gajah jenis India yang dimiliki masyarakat Thailand. Mereka biasanya dipekerjakan di sirkus dan ladang atau hanya menjadi simbol kekayaan. Ada juga yang naas, dipelihara untuk diambil kulit dan gadingnya saat besar. Obat jerawat dari kulit gajah merupakan kosmetik populer di dunia saat ini, entah sudah teruji dengan medis atau tidak.
Mahout-mahout yang dibina oleh Anantara bisa dibilang pemilik gajah yang insaf. Mereka diberi tawaran untuk menjadi karyawan kamp gajah Anantara asal mau memperlakukan gajahnya dengan baik. Win-win solution, begitu kata Nisa.
Ada 23 ekor gajah di kamp Anantara, yang dijaga oleh 30 mahout. Baik gajah dan mahout hidup berdampingan di kampung belakang resor dekat hutan. Rumah mereka sederhana, tapi layak. Beberapa juga ada yang memiliki televisi dan sepeda motor.
Sayangnya, tak ada mahout yang fasih berbahasa Inggris, sehingga saya hanya menyapa mereka secara singkat dengan “bahasa Inggris gundul”.
Penasaran dengan cara mahout binaan Anantara memperlakukan gajahnya, saya meninggalkan Nisa untuk berjalan bersama mereka.
Setiap mahout dibekali oleh tongkat kayu panjang dengan celurit kecil di ujungnya. Sesekali mahout menancapkan celuritnya jika ada gajah yang berjalan linglung. Tapi tanpa aksi marah-marah dan tetap bernada ramah.
Selebihnya mereka kembali berjalan beriringan, seperti tuan dan anjing atau kucingnya.
Sesekali gajah berhenti lagi. Sebelum mahout menancapkan celuritnya, gajah hanya sedikit menengok lalu meraih daun dari pohon melalui belalainya. Oh, rupanya ia memberikan isyarat untuk berhenti sebentar dan mengunyah camilan. Udara dingin Chiang Rai memang membuat perut sering lapar.
|
Nisa hanya tersenyum saat melihat saya menatap interaksi yang terjadi antara mahout dan gajahnya.
“Anda harus tahu, gajah itu tidak memiliki pengelihatan yang sempurna, sehingga jika berada di antara manusia mereka tetap harus kami tuntun,” kata Nisa.
Karena penasaran, saya lanjut bertanya kepada Nisa: apakah benar gajah takut akan tikus?
Nisa tertawa mendengar pertanyaan saya, karena saya bukan satu-satunya tamu yang pernah bertanya mengenai hal tersebut.
“Karena gajah berbadan besar dan tinggi, serta tak dibekali pengelihatan yang sempurna, mereka tentu saja takut dengan benda kecil yang bergerak di bawah kaki mereka. Di kandang sudah banyak tikus bahkan ayam peliharaan yang jadi korban,” ujar Nisa sambil tertawa.
|
Menjelang sore, Nisa mengajak saya untuk bergabung bersama tamu lain untuk memandikan gajah. Karena memegang peralatan kamera yang tak tahan air, saya hanya bisa mengambil foto dan video dari jauh.
“Jika gajah merasa senang, mereka akan menyemburkan air melalui belalainya. Jika gajah merasa terganggu, mereka akan menghantam tanah dengan kakinya sambil mengeluarkan suara lenguhan keras,” kata Nisa. Berjarak lima menit dari penjelasan Nisa, seorang tamu asal Irlandia disembur sampai basah oleh salah satu gajah. Kami langsung tertawa geli.
Berinteraksi dengan gajah di kamp penampungan gajah milik Anantara Golden Triangle Elephant Camp & Resort merupakan salah satu pengalaman dalam hidup saya yang tak terlupakan. Mulai dari mengelus kulit kasarnya sampai menyicipi manisnya batang tebu yang dikunyah gajah-gajah di sana.
Kisah ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kisah lain yang diceritakan oleh tamu yang juga sempat berkunjung. Semoga saja, kisah yang diceritakan bisa menggugah orang lain untuk ikut serta terhadap perlindungan gajah di dunia.
(ard)
Baca Kelanjutan Hidup Berdampingan dengan Gajah di Resor Mewah : http://ift.tt/2BFENUfBagikan Berita Ini
0 Response to "Hidup Berdampingan dengan Gajah di Resor Mewah"
Post a Comment