Search

Nasib Ulos di Antara Daftar Warisan Budaya tak Benda

Belum lama ini, Kemendikbud melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan telah menetapkan 594 Warisan Budaya Takbenda (WBTb), di mana 33 di antaranya merupakan wastra atau kain tradisional.

Salah satu kain tradisional yang masuk dalam daftar ini adalah ulos khas Sumatera Utara. Bagi orang Batak, ulos bukan hanya sekadar kain. Ia adalah simbol nilai interaksi dan doa.

Jhontoni Tarihoran, salah seorang masyarakat adat Toba Samosir bercerita bahwa ulos sebenarnya didapat bukan karena seseorang memiliki uang. Ulos sesungguhnya diberikan oleh orang tertentu dan pada waktu tertentu pula.

"Ulos bukan hanya didapatkan karena kamu punya duit, tetapi ini adalah bagian dari hubungan sebagai manusia dengan manusia lainnya," tutur Jhontoni pada CNNIndonesia.com di sela-sela temu media menjelang peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) di gedung Kemendikbud, Kamis (24/8).


Menurut Jhontoni, ulos diberikan pada bayi yang baru lahir, atau saat dibaptis karena rata-rata orang Batak menganut agama kristen, atau bisa juga saat menikah.

Saat orang memiliki rumah, kata dia, ulos juga tak akan absen dari momen ini. Bahkan, hingga akhir hayat, ulos akan diberikan sebagai tanda perpisahan.

"Kalau nilai-nilai ulos itu hilang, maka itu akan merusak hubungan sesamanya, sebenarnya," kata dia. 

Nasib Ulos di antara Daftar 33 Warisan Budaya tak Benda Jhontoni Tarihoran, salah seorang masyarakat adat Toba Samosir. (Foto: CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari)

Lebih jauh, Jhontoni menegaskan betapa ulos adalah doa. Tak seperti memberikan baju, memberikan ulos berarti juga disertai harapan dan doa. Jhontoni memberikan contoh, saat kelahiran anak pertama, maka akan diberikan ulos mengiring pada sang anak. Hal ini dimaksudkan agar sang anak mampu mengiringi atau mendampingi adik-adiknya kelak. Selain itu, terkandung harapan agar ia memiliki adik.

Kendati nilai-nilai pada selembar kain ini begitu besar, ulos kini menghadapi tantangan-tantangan. Pesatnya perkembangan industri tekstil membuat ulos semakin tersingkir. Bisa dibayangkan ulos yang dibuat berbulan-bulan dengan harga mahal, harus bersaing dengan ulos buatan industri dengan harga jauh lebih murah.


"Komunitas AMAN di Toba Samosir, mereka harus menghadapi industri yang kemudian mereka kalah saing untuk menyediakan ulos dari segi harga,"ujar pria yang juga bagian dari organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Barisan Pemuda Adat Nusantara.

Orang Toba Samosir tak memiliki desain atau katalog motif untuk menenun. Semua itu ada di dalam kepala mereka. Jhontoni bercerita, para pengrajin ketakutan saat ia banyak bertanya soal motif. Mereka takut motif akan dikenali orang lain kemudian diproduksi secara massal sehingga mereka pun tak punya taring lagi untuk menenun.

"Bagaimana ya, kalau tidak dilindungi pemilik motif itu, maksud saya pemerintah juga memberikan perhatian khusus bagaimana mereka yang punya dilindungi," ucapnya.

Tak hanya tantangan dari dunia industri, ulos juga harus menghadapi kenyataan bahwa generasi muda tak begitu berminat belajar menenun dan meneruskan tradisi leluhur.

Menurut Jhontoni, sulit untuk meneruskan tradisi menenun, pasalnya pemahaman tentang ulos tidak muncul. Ia sendiri menghadapi tantangan, saat bersekolah, lembaga pendidikan ini tidak memberikan pemahaman serius tentang jati dirinya, termasuk ulos.

"Bagi industri, ulos itu orientasinya untung. Sementara, bagi masyarakat, selain untung, ada ilmu yang ia transfer untuk generasi mendatang," katanya. </span> (rah)

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Nasib Ulos di Antara Daftar Warisan Budaya tak Benda : http://ift.tt/2xgX87D

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Nasib Ulos di Antara Daftar Warisan Budaya tak Benda"

Post a Comment

Powered by Blogger.